Oleh: Agung Nugroho (Ketua Nasional Rekan Indonesia)
Ancaman bioterorisme nyata. Meskipun kasus bioterorisme masih jarang terjadi, Indonesia harus meningkatkan kesiapan dan kewaspadaan untuk menghadapinya. Sejauh ini Indonesia belum siap untuk menghadapi ancaman bioterorisme.
Itu tecermin dari penanganan kasus teror di Kedutaan Besar Perancis pada tahun 2012. Kala itu, kedutaan mendapat kiriman amplop berisi bubuk putih dan bertuliskan "Anthrax". Yang masuk waktu itu Gegana. Mereka biasa mengamankan TKP, sudah jago banget. Namun, bagaimana kalau ancamannya biologi. Mereka masuk dengan segala atribut yang fancy, tetapi tidak protected. Untunglah, ancaman anthrax itu hoax. Jika benar, mungkin akibatnya bisa fatal.
BERITA TERKAIT :Adrien Rabiot Gabung Klub Kampung Halaman
Fabio Carvalho Apes Bela Klub Mata Duitan
Bioterorisme adalah upaya menebarkan aksi teror menggunakan agen/senjata biologis. Apa maksudnya agen biologis di sini? Ia adalah makhluk hidup, atau bagian dari makhluk hidup. Contoh disini adalah mikroorganisme, atau jasad renik, seperti bakteri, virus, dan fungi.
Bioterorisme memang berbeda dengan terorisme dalam bentuk bom, karena teror bom itu sangat jelas dampaknya berupa ledakan dan korban, sedangkan bioterorisme itu menggunakan bakteri, virus, dan kuman penyakit lainnya yang dampaknya tidak langsung tapi bisa berlangsung lama, yakni perekonomian jatuh, fakta-fakta non-alami yang memperkuat dugaan ada "Bioterorisme" di Indonesia antara lain Flu Burung yang terjadi sejak 2003 tapi hingga 2015 atau 12 tahun tidak terselesaikan, termasuk Flu Babi 2009 yang strukturnya juga tidak alami.
Virus Flu Burung yang menyerang bebek pada tahun 2012, ternyata tidak sama dengan virus Flu Burung sebelumnya dan justru ada kemiripan dengan virus serupa di Cina. Teror yang dilakukan dengan memanfaatkan mikroorganisme atau makhluk hidup ini dianggap banyak pihak jauh lebih mematikan dan menyengsarakan. Argumennya sederhana saja, teror bom bisa terjadi begitu dahsyat namun hanya bersifat sekali menderita sudah itu mati. Lain halnya dengan bioterorisme yang bisa terjadi dalam jangka waktu panjang dan lebih menyiksa.
Perang dengan senjata biologi ini jauh lebih murah, mudah dan sangat ampuh dibanding dengan senjata kimia atau konvensional. Ini disebabkan oleh sifat senjata biologi yang tak kasat mata. Bayangkan, spora antraks memiliki diameter hanya sebesar debu sehingga sama sekali tidak bisa langsung terlihat. Di samping itu, bioterorisme sangat efektif untuk membunuh secara massal.
Lalu bagaimana dengan Indonesia sendiri Mampukah Indonesia mengantisipasi bioterorisme yang bukan tak mungkin kelak akan ikut mengancam.
Akhir 2016, publik dikejutkan oleh penemuan ribuan batang tanaman cabai yang mengandung bakteri Erwina Chrysanthem yang ditanam warga negara China di Bogor. Kok bisa? Penemuan itu amat penting, lantaran bakteri berbahaya tadi dapat menularkan penyakit bagi tanaman lain, sehingga menyebabkan gagal panen.
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo memperingatkan potensi proxy war yang mengancam ketahanan nasional Indonesia. Salah satunya adalah dengan ancaman bioterorisme yang berasal dari upaya penyebaran virus-virus.
Ancaman tersebut, kata Gatot, dilakukan semata untuk merebut sumber daya alam Indonesia. Bioterorisme ini salah satu merupakan cara berperang dengan negara lain tanpa angkat senjata.
Sampai sejauh ini upaya membangun kesadaran pertahanan kesehatan di Indonesia masih lemah, bahkan ditingkatan kebijakan pemerintah pun belum ada langkah konkrit dalam upaya membangun antisipasi terhadap potensi bahaya dari bio terorisme ini.