Minggu,  22 December 2024

OPINI

Kelompok Menengah, Terlihat Mampu Tapi Menderita 

Redaksi
Kelompok Menengah, Terlihat Mampu Tapi Menderita 

Corona menghantam semua sektor. Banyak orang menilai, kelompok ekonomi menengah adalah golongan mampu. 

Punya mobil, motor dan rumah. Tapi tahukan Anda kalau mereka bisa dikatakan kelompok yang paling berdampak secara nyata saat Corona. 

Kelas menengah, seperti namanya, berada di tengah-tengah tidak sekaya para pemilik modal, tetapi sering dicap berkecukupan. 

BERITA TERKAIT :
Arus Mudik Nataru Dongkrak Ekonomi Daerah, Perputaran Duit Bisa Tembus Puluhan Triliun
SBY: Blok Dunia Makin Rumit Dan Ruwet

Laporan dan studi tentang kelas menengah di Indonesia memang banyak, tetapi masing-masing punya parameter yang berbeda. Jumlah kelas menengah di Indonesia pun punya rentang estimasi yang besar, yaitu 30 juta hingga ratusan juta orang.

Asian Development Bank pada 2010, misalnya, mendefinisikan kelas menengah di Indonesia sebagai orang dengan pengeluaran sebesar US$2-20 per hari. Dengan besaran tersebut, persentase kelas menengah di Indonesia mencapai 46,58% atau sebanyak 102,7 juta jiwa.

Sementara itu, laporan Global Wealth Report (2015) menggunakan parameter Amerika Serikat. Kelas menengah didefinisikan sebagai orang yang punya kekayaan sebesar US$50.000-500.000. Dengan angka tersebut, persentase kelas menengah di Indonesia cuma 4,4%.

Bank Dunia, dalam laporan “Aspiring Indonesia: Expanding the Middle Class” (2020), menilai bahwa kelas menengah berkaitan erat dengan ukuran economic security di Indonesia. Mereka harus terbebas dari ancaman kemiskinan (peluangnya kurang dari 10%). 

Kelompok ini juga dikatakan mampu untuk membeli hal-hal di luar kebutuhan mendasar, seperti hiburan, kendaraan pribadi, asuransi kesehatan, dan lainnya. Jika kelompok menengah ini rontok pastinya bisa merusak tatanan ekonomi secara nyata. 

Jadi bisa dikatakan jika ingin menyelamatkan ekonomi Indonesia yang harus diselamatkan adalah kelompok kelas menengah. 

Dengan rontoknya ekonomi, kelompok ini sedang memutar otak bagaimana bisa selamat dari ancaman krisis. Tagihan kredit yang berderet dari rumah, mobil hingga kartu kredit menambah beban kelompok ini.

Belum lagi melambungnya harga kebutuhan pokok yang kian tak terbendung. Tragisnya, kelompok ini sering kali luput dari bidikan pemerintah. 

Boro-boro dapat subsidi duit diberikan paket sembako saja mungkin tidak. Karena, kelompok ini jarang menjual atau obral kesusahan kepada publik. Ibarat marketing, kelompok ini sudah biasa jika jualan sepi dan dapat bonus kecil.