RN - Peringatan keras buat komisaris, dewan pengawas, hingga direksi jika BUMN yang dikelolanya merugi. Mereka bisa dituntut bertanggung jawab.
Ketentuan itu jelas tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) 23/2022 yang diteken oleh Presiden Jokowi dan telah diundangkan pada 8 Juni lalu.
Direktur Eksekutif Oversight of Indonesia's Democratic Policy, Satyo Purwanto menanggapi beleid Jokowi itu bukan hal baru dan malah terkesan sebagai aturan tambahan semata.
BERITA TERKAIT :Bos Garuda Indonesia Mau Didepak Seperti Pertamina, Irfan Setiaputra Sudah Dapat Bocoran?
Marger BUMN Ala Erick Thohir, Solusi Atau Cuma Gengsi?
"Dari dulu sudah semestinya begitu. Sebenarnya aturan itu di UU 19/2003 tentang BUMN juga sudah mengatur buat hak dan kewajiban para pengurus perusahaan dan komposisi penempatan komisaris, wakil pemerintah di BUMN, sudah diatur jelas," ujar Satyo saat dihubungi, Selasa (14/6/2022).
Toh, menurut dia, selama ini berjalan jika menyangkut keputusan strategis seperti penyertaan modal, pelimpahan aset, ekspansi perusahaan harus mendapat persetujuan dari komisaris, terutama komisaris utama, dan direktur utama.
"Ingat nggak laporan keuangan Garuda (PT Garuda Indonesia Persero), itu karena salah satu komisaris independen tidak mau tanda tangan," katanya memberi contoh.
Ia justru mempertanyakan kesungguhan pemegang kebijakan, dalam hal ini Menteri BUMN menjalankan aturan yang sudah dibuat. "Cuma sekarang pertanyaannya, mau ada 10 aturan lagi, PP, perpres, permen kek, kalau nggak ada penegakan hukum ya artinya tidak ada political will dari stakeholder pengambil kebijakan, dalam hal ini menteri BUMN untuk menjalankan aturan UU ya percuma," kritik Satyo, yang akrab disapa Komeng.
Menurutnya, patut dicurigai lahirnya PP ini semata-mata untuk menyasar orang-orang yang dianggap tidak bisa bekerja sama atau loyal dengan menteri BUMN.
"Contoh nih, Pertamina diumumkan rugi sekian ratus triliun, seharusnya bertanggung jawab dong komisarisnya, komutnya, direksinya, mana menteri BUMN-nya? Belum soal yang lagi ramai nih, soal GoTo. Siapa yang bisa dituntut pertanggungjawabannya soal penyertaan modal Telkom ke GoTo? Itu contoh, dan kita belum tahu yang mana lagi, yang kita tahu semua BUMN berdarah-darah," paparnya.
Ihwal tanggung jawab pengelola perusahaan negara ini, menurut Satyo, yurisprudensinya sudah banyak. Mantan Direktur Utama Pertamina, Karen Agustina bahkan pernah diseret ke jalur hukum buntut investasi perusahaan di Blok Baster Manta Gummy (BMA) Australia. Karen sempat berstatus tersangka dan ditahan, meski akhirnya menang di kasasi.
"Apakah ada laporan dari Menteri BUMN pada waktu itu? nggak ada. Yang laporan juga saat itu bukan menteri, tapi langsung penegak hukum. Kita patut curiga, PP ini lahir bisa sangat subyektif," tegas Satyo.
Apalagi lanjut dia, ada klausul dalam PP 23/2022 itu ketika dianggap kebijakan yang diambil merugikan perusahaan dengan itikad tidak baik. Klausul ini dinilainya samar. "Apa itikad tidak baiknya? ini ada parameternya nggak? jadi subyektif banget," kritiknya lagi.
Lebih jauh, Satyo juga menyoroti larangan direksi dan komisaris rangkap jabatan sebagai pengurus partai politik yang diatur dalam PP baru tersebut. "Harusnya jangan PP, naikin lagi derajatnya jadi UU. Menteri tidak boleh dari partai politik, harus murni profesional. Jadi menghindari politik transaksional, bagi--bagi kekuasaan," ujarnya.
Satyo menuturkan, di negara mana pun istilah tim sukses presiden pasti memperoleh privilege, seperti posisi kekuasaan di sebuah perusahaan. Hal ini mestinya disikapi bijaksana.
"Wajar kalau dia bisa bekerja secara profesional. Artinya tidak ada urusan lagi dengan partai politik atau organisasi apapun," terangnya.
Sehngga, ia cenderung melihat aturan rangkap jabatan itu tidak ada urgensinya. "Nggak masalah dia (direksi-komisaris) dari parpol, jadi harus relawan atau gimana? kalau begitu biar adil menteri juga jangan dari partai politik," cetusnya.