Jumat,  22 November 2024

Omnibus Law Bentuk Penghinaan dan Pengkhianatan Kepada Pancasila

Tori
Omnibus Law Bentuk Penghinaan dan Pengkhianatan Kepada Pancasila
Ilustrasi

Dalam sejarah lahirnya Kota Roma (Ab Urbe Conditia - History of Rome), frasa Omnibus Law untuk pertama kali dikemukan oleh Titus Livius ( 59 SM - 17 M), di mana adanya tuntutan kesetaraan atau hukum yang sama untuk semua (aquare leges omnibus), secara harfiah omnibus law (leges omnibus) artinya hukum untuk semua.

Secara umum dikemukakan banyak ahli hukum terdahulu 'equality before the law', hukum harus menjadi kehendak semua.

Adalah kekeliruan secara terminologi ahli hukum dan akademisi hukum dibeberapa buku, jurnal hukum, atau ceramah (lecturer) yang mengartikan omnibus law adalah hukum satu bus. Walaupun salah satu istilah omnibus law disebut juga sebagai 'The Law Of Crete'.

BERITA TERKAIT :
Megawati Muncul Usai Jokowi Turun Di Jateng & Jakarta, Tuding Aparat Gak Netral
Jokowi Getol Endorse RIDO, Dendam Ke PDIP Atau...?

Perundang-undangan omnibus, dan berbagai macam bentuknya di seluruh dunia dikenal dengan banyak nama tambahan seperti; Tagihan Pohon Natal (Christmas tree bills), Tagihan Portmanteau (Portmanteau Bills) Portmanteau diambil dari bahasa Prancis yang artinya gabungan dua kata menjadi satu, Tagihan Mosaik (Mosaic Bills), Hukum Tambal Sulam  (Patchwork Laws), Tagihan Monster (Monster Bills), Tagihan Raksasa (Mammoth Bills), Hukum Gado-gado (Salad Laws), Tagihan Budget atau Tagihan Hutang (ketika butuh pemasukan yang berhubungan dengan piskal  (Omnibudget Bills or Money Bills - when they deal with fiscal legislation); atau bahkan disebut juga sebagai Tagihan Kerajang Sampah (Garbage Bills).

Di negara lain dari bahasa yang berbeda UU Omnibus juga disebut sebagai Hukum Artikel (Artikelgesetz - dalam arti lain diisi sesuka hati), UU Jas Hujan, (Mantelgesetz ) dan UU Pendamping Anggaran (Budgetbegleitgesetz) di Jerman. Sedangkan dalam bahasa Italia Omnibus dikenal sebagai; Hukum Keuangan (Leggi finanziarie), Undang-Undang Stabilitas (Leggi di stabilità).

Literatur hukum tata negara komparatif telah menyoroti gagasan pinjaman konstitusional yang melecehkan. Arsitek dari konstruksi hukum omnibus yang berbeda dengan konsep Livius 'aquare leges omnibus' adalah Rosalind Dixon dan David Landau 'Abusive constitutional borrowing: legal globalization and the subversion of liberal democracy' (2021) berpendapat bahwa adanya fenomena di mana para pemimpin negara-negara demokrasi baru bergeser dari keterlibatan otentik dengan norma-norma demokrasi liberal dan menuju keterlibatan yang kasar.

Keterlibatan kasar ini bertujuan untuk menggunakan ide-ide dan norma-norma dari demokrasi liberal barat untuk melakukan perubahan konstitusi ANTI- DEMOKRASI. Intinya adalah bahwa beberapa pemimpin meminjam sesuatu dari Barat untuk memajukan agenda anti-demokrasi mereka.

Presiden Indonesia, Joko Widodo (biasa disapa Jokowi), telah mengambil langkah besar untuk bergabung dengan klub ANTI - DEMOKRASI tersebut dengan meminjam konsep omnibus law dari Barat untuk melakukan proses perubahan konstitusi yang bersifat anti demokrasi.

Dalam pidato pengukuhannya pada 20 Oktober 2019, Jokowi mengumumkan rencananya untuk merevisi puluhan undang-undang yang menghambat penciptaan lapangan kerja menjadi Omnibus Law yang efisien untuk masa jabatan presiden keduanya.

Sofyan Djalil, Menteri Agraria dan Tata Ruang, awalnya mengusulkan gagasan Omnibus Law kepada Jokowi. Djalil mengklaim bahwa ia mendapat inspirasi dari UU Omnibus yang digunakan Kongres AS secara rutin.

Berdasarkan rujukan di atas, ada baiknya kita melihat dengan teliti, sikap-sikap dan kebijakan -kebijakan yang dilakukan Presiden Joko Widodo, menteri-menteri, dan partai penguasa (PDIP) akhir-akhir ini tentang kekasaran dan anti-demokrasi yang dimaksud, antara lain indeks demokrasi yang terus menurun di era pemerintah ini, ide - ide lama tentang tiga periode, dan lain- lain.

DNA Omnibus yang anti-demokrasi tampaknya telah hidup dalam jiwa pemerintah dan partai penguasa di legislatif saat ini, Hal ini secara tertulis di implementasikan pada UU 13/2022 perubahan kedua UU 12/2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-Udangan, pada bagian ketujuh "Perencanaan Peraturan Perundang-Udangan yang Menggunakan Metode Omnibus," Pasal 64 ayat (1a), ayat (1b) penyusunan rancangan peraturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan metode Omnibus.

Selanjutnya ayat (1b), metode Omnibus sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) merupakan penyusunan peraturan perundang-undangan dan seterusnya.

Berdasarkan pengalaman di Indonesia dan Amerika Serikat, di mana Amerika menjadi rujukan pemerintah Indonesia, metode Omnibus adalah mentode yang dibuat tanpa keterlibatan, tanpa keterbukaan ke publik, dibuat tanpa dipahami, tanpa dibaca, bahkan disahkan dengan kontroversi besar.

RUU dengan metode Omnibus harus mendapatkan dukungan luas dari pemimpin partai, mengalihkan perhatian dari kebutuhan yang lebih kontroversial dalam menghadapi ketidakpastian dalam kongres dan kursi presiden. Sementara umumnya dianggap sebagai cara menghadapi ketidakpastian legislatif di era meningkatnya fregmentasi, legislasi Omnibudget mengorbankan partisipasi (metode ini dilacak muncul di bawah aturan tertutup DPR).

Anggota DPR umumnya jarang mengetahui rincian yang terkandung di dalam RUU dengan metode Omnibus. Ketika ditanya tentang isi RUU omnibus budget 1998, Senator Robert Byrd (D-WV) menjawab: “Apakah saya tahu isi RUU ini? Apakah kamu sedang bercanda? Tidak. Hanya Tuhan yang tahu apa yang ada di dalam kengerian ini."

Keteguhan dan ketegasan Presiden sebelumnya Bapak Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat harus penulis apresiasi. Hal ini menunjukkan ada keberpihakan terhadap rakyat dan masa depan Negara Republik Indonesia mengingat metode Omnibus ini bukan metode yang sejalan dengan Pancasila yang menjadi sumber segala sumber hukum, bertentangan dengan Tap MPR No 16 Tahun 1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Demokrasi. Pada Pasal 1 menyebutkan;

"Politik Ekonomi dalam Ketetapan ini mencakup kebijaksanaan, strategi dan pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional sebagai perwujudan dari prinsip-prinsip dasar Demokrasi Ekonomi yang mengutamakan kepentingan rakyat banyak untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945."

Pasal 3

"Dalam pelaksanaan Demokrasi Ekonomi, tidak boleh dan harus ditiadakan terjadinya penumpukan aset dan pemusatan kekuatan ekonomi pada seorang, sekelompok orang atau perusahaan yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan pemerataan."

Pasal 4

"Pengusaha ekonomi lemah harus diberi prioritas, dan dibantu dalam mengembangkan usaha serta segala kepentingan ekonominya, agar dapat mandiri terutama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan akses kepada sumber dana."Tidak ada alasan untuk mempertahan Omnibus"Undang-Undang Cipta Kerja" ini kecuali adanya sikap yang anti demokrasi, dengan menurunkan aturan-aturan yang cenderung membatasi dan potensial melanggar Hak Asasi Manusia, seperti pasal-pasal RKUHPidana yang mengatur tentang penghinaan diri presiden.

Penulis menyadari bahwa wajar bagi mereka untuk mengambil sesuatu yang menguntungkan dari kekuasan yang digenggam. Namun sudah saatnya pula pemerintah negara memikirkan mereka (rakyat) yang masih telanjang, buta huruf, miskin dan kelaparan yang masih banyak kita saksikan.

 

Muhammad Yamin
Pemerhati Hukum