RN - Gugatan penghapusan penerimaan peserta didik baru (PPDB) melalu sistem zonasi ditolak MK (Mahkamah Konstitusi).
Ketua MK Anwar Usman mengatakan mahkamah berkesimpulan bahwa mahkamah berwenang mengadili permohonan pemohon. Selain itu, pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Mahkamah juga berkesimpulan pokok permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
"Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ujar Anwar saat membacakan amar putusan dalam sidang di Gedung MKRI, Jakarta, Rabu (27/9).
BERITA TERKAIT :OTT Mau Dihapus, Yang Sumringah Malah DPR Dan Langsung Tepuk Tangan
Biar Tahu Item Loksem Binaan UMKM, Kelurahan Penjaringan Tebar Data di Website Pemkot Jakut
Pada bagian pertimbangan, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menjelaskan karena permohonan a quo telah jelas, mahkamah berpendapat tidak terdapat urgensi maupun kebutuhan untuk mendengar keterangan pihak-pihak.
Kemudian, Manahan mengatakan apabila dicermati, pemohon menghendaki agar ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) UU 20 tahun 2003 perlu dimaknai supaya tidak menimbulkan diskriminasi dalam penerimaan siswa baru dengan menggunakan sistem zonasi.
Menurut mahkamah, kata Manahan, sistem zonasi adalah salah satu cara penerimaan peserta didik baru yang menggunakan pembatasan wilayah yang dikaitkan minimal dan daya tampung sekolah. Oleh karena itu, apapun pilihan sistem dalam penerimaan peserta didik baru, termasuk dengan menggunakan cara lain seperti jalur afirmasi, perpindahan tugas orang tua/wali, dan/atau prestasi adalah hanya sebuah metode di dalam penatalaksanaan dari sebuah sistem penerimaan peserta didik baru.
Karenanya, menurut mahkamah, sesungguhnya dalil pemohon tidak terdapat keterkaitan dengan isu konstitusionalitas norma Pasal 11 ayat (1) UU 20 tahun 2003. Sebab, ketentuan dalam norma Pasal 11 ayat (1) UU 20 tahun 2003 telah memerintahkan kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
"Oleh karena itu, dalil pemohon tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih jauh karena permasalahan penerimaan siswa baru dengan sistem zonasi dilaksanakan menurut peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 11 ayat (1) UU 20 tahun 2003. Dengan demikian, menurut mahkamah norma Pasal 11 ayat (1) UU 20 tahun 2003 telah sejalan dengan semangat dan tujuan negara sebagaimana dinyatakan dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945," jelas Manahan.
Permohonan Pemohon
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada 30 Agustus 2023, Leonardo menjelaskan dirinya merupakan anak pertama dan memiliki dua adik kandung laki-laki, yaitu Simon Fransisco Siahaan dan Yoel Riski Siahaan.
Ia menyebut kedua adiknya mengalami trauma ketika melakukan pendaftaran di sekolah negeri akibat sistem zonasi. Hal itu dinilai sebagai kerugian konstitusional yang dialami.
Dalam berkas permohonannya, Leonardo mengatakan penerapan sistem zonasi pada PPDB kerap kali terjadi kasus jual beli bangku atau titipan siswa. Sistem zonasi juga dinilai sudah tidak relevan dan menimbulkan kerugian efek domino ke masyarakat.
Leonardo menilai hadirnya dan dipertahankannya sistem zonasi akan berkelanjutan menumbuhkan lahan basah praktik gelap mata atau perbuatan curang lain.
"Menyatakan Undang-Undang Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 4301) bertentangan secara bersyarat atau constitutional unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi, dan melarang penerimaan peserta didik melalui sistem zonasi atau kebijakan lainnya, menimbulkan kesulitan peserta didik memperoleh pendidikan"," demikian bunyi petitum yang diajukan.