RN - Kereta cepat Jakarta-Bandung alias Whoosh masih heboh. Soal siapa yang akan membayar utang Rp 54 triliun masih misteri.
Whoosh disebut-sebut sebagai proyek gengsi Jokowi. Mahfud MD menyebut diduga adanya investasi proyek yang tidak masuk akal dan diduga bermasalah.
Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) buka suara soal penyelesaian utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. AHY mengaku sempat memanggil lintas kementerian/lembaga untuk membahas masalah tersebut.
BERITA TERKAIT :Gubernur Jangan Pelit Belanja Buat Rakyat, Duit APBD Diparkir Di Bank
Melalui pertemuan tersebut, pemerintah mempertimbangkan sejumlah opsi penyelesaian utang proyek kereta cepat. Namun, tak menjelaskan lebih lanjut opsi yang tengah dipertimbangkan pemerintah.
"Di sini masih terus dikembangkan sejumlah opsi. Saya tidak atau belum bisa menyampaikan secara final karena memang masih dikembangkan opsi-opsinya dan masih dihitung semuanya, segala sesuatunya," ungkap AHY saat ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (20/10/2025).
Hingga saat ini, terang AHY, opsi yang dibahas mencakup Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) sebagai pihak yang menangani persoalan utang KCIC atau melibatkan Kementerian Keuangan. Namun yang jelas, AHY menyebut skema penyelesaian masih menunggu arahan Presiden Prabowo Subianto.
"Apakah kemudian Danantara bisa menghandle dan juga bagaimana nanti Kementerian Keuangan bisa berkontribusi dan lain sebagainya. Jadi artinya kami masih terus menunggu arahan Pak Presiden juga sambil terus mengembangkan berbagai opsi yang paling baik dan berkelanjutan," jelasnya.
AHY menambahkan penyelesaian utang Kereta Cepat Jakarta-Bandung perlu segera dilakukan agar tidak mengganggu rencana perluasan rute kereta cepat hingga Surabaya.
"Karena memang utang yang harus segera diselesaikan ini juga tidak boleh kemudian menghambat rencana besar kita untuk mengembangkan konektivitas berikutnya, tadi Jakarta sampai dengan Surabaya," pungkasnya.
Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan sebelumnya mengaku telah berkomunikasi dengan China terkait restrukturisasi utang proyek. Namun, ia menyebut kondisi keuangan proyek Kereta Cepat memang tidak baik sejak awal pembangunan.
"Restructuring saya sudah bicara dengan China karena saya yang dari awal mengerjakan itu, karena saya terima sudah busuk itu barang. Kita coba perbaiki, kita audit BPKP, kemudian kita berunding dengan China," kata Luhut, dalam acara 1 Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran di Hotel JS Luwansa, Jakarta Selatan, Kamis (16/10/2025).
Jadi Beban APBN
Perhatian utang proyek Whoosh mencuat setelah pernyataan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa enggan memberikan dana APBN untuk membayar utang senilai Rp 54 triliun tersebut.
Menurut Purbaya, selama struktur pembayarannya tertata dengan baik dan transparan, pihak pemberi pinjaman seperti China Development Bank (CDB) tidak akan mempersoalkan.
Ia juga menekankan, Danantara memiliki kapasitas tersendiri untuk menambal utang kereta cepat yang ditaksir Rp2 triliun per tahun.
"Sudah saya sampaikan karena kan Danantara terima dividen dari BUMN kan hampir Rp 90 triliun. Itu cukup untuk nutup yang Rp 2 triliun bayaran tahunan untuk kereta api cepat dan saya yakin uangnya juga setiap tahun akan lebih banyak Rp 90 triliun akan lebih," jelasnya.
Jumlah investasi pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung menembus sekitar 7,27 miliar dollar AS atau Rp 120,38 triliun (kurs Rp 16.500).
Dari total investasi tersebut, sekitar 75 persen dibiayai melalui pinjaman dari China Development Bank (CDB), dengan bunga sebesar 2 persen per tahun.
Utang pembangunan Whoosh dilakukan dengan skema bunga tetap (fixed) selama 40 tahun pertama. Bunga utang KCJB ini jauh lebih tinggi dari proposal Jepang yang menawarkan 0,1 persen per tahun.
Selain itu, total utang tersebut belum menghitung tambahan penarikan pinjaman baru oleh KCIC karena adanya pembengkakan biaya (cost overrun) yang mencapai 1,2 miliar dollar AS, bunga utang tambahan ini juga lebih tinggi, yakni di atas 3 persen per tahun.