Sabtu,  23 November 2024

Tuntaskan Masalah Papua

Jokowi - Amin Butuh Pendekar Hukum Bertangan Dingin

RN/CR
Jokowi - Amin Butuh Pendekar Hukum Bertangan Dingin
Ketua Presidium Jari 98, Willy Prakarsa

RADAR NONSTOP - Permasalahan yang ada di Papua sudah tertanam sejak 56 tahun lalu. Dari segi substansi dan niat politik, UU Nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) dibuat sebagai instrumen untuk untuk menyelesaikan empat akar masalah di Papua.

Empat akar masalah itu adalah kegagalan pembangunan, marjinalisasi dan diskriminasi orang asli Papua, kekerasan negara dan tuduhan pelanggaran HAM, serta sejarah dan status politik wilayah Papua.

"Harapannya, Papua tetap dapat dipertahankan di dalam Republik Indonesia dan pada saat yang sama aspirasi masyarakat asli Papua terakomodasi dengan cara adil dan bermartabat,” kata Ketua Presidium Jaringan Aktivis Reformasi Indonesia (Jari) 98, Willy Prakarsa, saat berbincang santai dengan radarnonstop.co, Selasa (20/8/2019).

BERITA TERKAIT :
Megawati Muncul Usai Jokowi Turun Di Jateng & Jakarta, Tuding Aparat Gak Netral
Jokowi Getol Endorse RIDO, Dendam Ke PDIP Atau...?

Menurut Willy, kenyataannya, akhir-akhir ini, konflik-konflik politik di Papua semakin mengkhawatirkan. Kita menyaksikan kebuntuan politik semakin mendalam. Berbagai masalah lama campur aduk dengan masalah baru.

Sembilan belas tahun implementasi otonomi khusus ternyata belum berhasil mengurai apalagi memecahkan akar masalah konflik Papua yang tertanam sejak 56 tahun lalu. Sebaliknya ostsus justru bagian dari konflik itu sendiri.

Willy menilai Inpres Nomor 5/2007 selama dua belas tahun terakhir ini juga tidak menolong implementasi Otsus. Ada banyak contoh untuk menunjukkan situasi Papua mutakhir. Tidak hanya bentrokan yang terjadi Senin (19/8/2019) kemarin.

Dikatakannya, di Jayapura dan kota-kota lainnya, ribuan masyarakat adat bersama Masyarakat Rakyat Papua mengembalikan otsus. Sejalan dengan itu, tuntutan untuk dialog internasional dan referendum terus menguat.

Dari hutan di Pegunungan Tengah, tutur Willy, kelompok bersenjata TPN/OPM di Puncak Jaya semakin agresif. Di luar negeri, internalisasi konflik Papua juga semakin menemukan jalannya. Di Amerika Serikat, 50 anggota Kongres AS mengangkat kembali masalah Papua.

Willy juga menilai kebanyakan kebijakan dan praktek negara di semua tingkatan justru kontraproduktif terhadap legitimasi Otsus di mata rakyat Papua. Pemerintah pusat dinilai mengecilkan akar masalah Papua dan Otsus hanya pada soal-soal sosial-ekonomi dan peningkatan anggaran pembangunan.

“Semangat dasar otsus yaitu pemihakan, perlindungan, dan pemberdayaan terhadap orang asli Papua hanya ada di dalam pidato pejabat, tetapi tidak termanifestasi di dalam kebijakan nyata, " katanya.

Ia mengkhawatirkan karena terjebak di dalam siklus konflik Papua yang semakin rumit yang disebabkan oleh kegagalan kita sendiri. Kalaupun benar ada intervensi internasional di dalam gejolak konflik Papua, kata dia, itu karena kegagalan kita yang memberi peluang untuk itu.

"Jika pemerintah gagal mengatasi konflik Papua, cepat atau lambat kita akan dipaksa oleh keadaan untuk mengambil jalan yang sama buruknya dengan Timor Timur, " katanya mengingatkan. 

Willy Ia menambahkan, selain masalah kualitas SDM aparat pemerintah di Jakarta dan di Papua, ketidakpercayaan antarinstitusi negara di Jakarta dan di Papua telah membuat kepemimpinan politik dan praktik pemerintahan di Papua menjadi tidak efektif. Pelayanan publik memburuk dan korupsi birokrasi menjadi pendemik.

Penegakan hukum seringkali berjalan lambat terlalu lambat dan diskriminatif. Pada ujungnya, katanya, Jakarta dan Papua hanya bisa saling menyalahkan dan terhalang untuk menemukan jalan keluar bersama. Negara sekarang ini terseret menjadi bagian dari konflik yang berkepanjangan ini.

Menurut Willy, Jokowi - Amin sebagai pemenang Pilpres 2019 memerlukan seorang ‘Pendekar Hukum’ bertangan dingin sebagai Jaksa Agung. Profilnya harus lepas dari berbagai kepentingan elite dan partai politik.

Sehingga penegakan hukum di seluruh wilayah NKRI termasuk Papua dapat ditegakkan. “Posisi Jaksa Agung ini sangat penting dan vital untuk menyelesaikan perbedaan pemahaman antara pemerintah pusat dan pemimpin Papua terhadap akar masalah dan cara mengatasinya,” ujar Willy

“Orang yang paling pas untuk itu posisi itu adalah mantan Ketua KPK Antasari Azhar, integritasnya dalam penegakan hukum tak perlu diragukan lagi. Di sisi lain, Ia (Antasari Azhar) sudah teruji lebih baik mengorbankan dirinya sendiri daripada mengikuti kemauan segelintir elit yang tidak ingin penegakan hukum berjalan sesuai koridornya,” papar Willy.

Willy menyakini, jika Jokowi - Amin memberikan amanah itu (Jaksa Agung) kepada Antasari Azhar, maka persoalan penegakan hukum di negeri ini, terutama Papua bisa segera selesai. “Legitimasi hukum di mata sebagian besar rakyat Papua yang saat ini hilang, bisa dipulihkan kembali,” tandasnya.