RADAR NONSTOP - Tak lama lagi kebebasan pers bakal diberangus. Revisi Undang - Undang KUHP memasukkan persoalan pers ke dalam ranah pidana, bukan lagi perdata.
Begitu dikatakan Anggota Dewan Pers, Agung Darmajaya menilai, revisi Undang - Undang KUHP menjadi tumpang tindih dengan UU Pers, serta kontraproduktif.
Hal itu diungkapkan Agung, menanggapi revisi UU KUHP, dalam sebuah diskusi di Menteng, Jakarta, Sabtu 21 September 2019.
BERITA TERKAIT :Member Superstar Fitness Merasa Kena Tipu, Bakal Sita Alat Gym Untuk Tutupi Kerugian
Ruud Van Nistelrooy Cetak Rekor Sempurna
"Ketika muncul persoalan pers, masuk dalam KUHP, pidana. Artinya, kebebasan pers di satu sisi terbelenggu pidana, akhirnya jadi tumpang tindih," kata Agung.
Agung mengingatkan, ranah pers persoalannya sudah jelas, yakni perdata bukan pidana. Namun, dengan KUHP yang baru nanti, jurnalis jadi harus berhati-hati dalam membuat produk jurnalistiknya. "Hukumannya penjara. Kita harus mikir dua kali," ujar Agung.
Menurut dia, ada banyak pasal kontroversial yang menyangkut pers, salah satunya tentang penghinaan Presiden. Sementara itu, terminologi penghinaan juga dinilai tidak jelas, karena bisa ditasfirkan secara sembarang.
"Menghina itu seperti apa sih? Kalau namanya pejabat publik, enggak usah sekelas Presiden, Anda dikritik, ya itu risikonya. Kecuali, masuk ke ranah pribadi," kata Agung.
Sebelumnya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Lembaga Bantuan Hukum Pers mengkritik sejumlah pasal di RKUHP.
Ketua Umum AJI, Abdul Manan menyebutkan, ada Pasal 219 tentang Penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, dan Pasal 241 tentang Penghinaan terhadap Pemerintah.
"Keduanya juga menghidupkan pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, yang sudah dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006 lalu," ujar Manan di kawasan Duren Tiga, Jakarta, Senin (2/9/2019).