RADAR NONSTOP - Pernyataan Mendagri soal kampanye di sekolah dan pesantren boleh asal tidak pakai anggaran daerah menjadi polemik. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai, pernyataan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang.
Komisioner KPAI, Jasra Putra menilai bahwa pernyataan tersebut bertentangan dengan undang-undang perlindungan anak nomor 35 tahun 2014 pasal 15 menyatakan bahwa anak memiliki hak untuk dilindungi dari penyalahgunaan politik.
Sehingga dirinya sangat menyayangkan pernyataan tersebut terkait mengizinkan calon kandidat Capres atau Cawapres melakukan kampanye di sekolah.
BERITA TERKAIT :Curhatan Warga Penjaringan Soal Problematika Ijazah Tertahan Hingga Terancam Anak Tak Ikut Ujian
Mendikdasmen Janji Naikan Gaji, Guru SD Dan SMP Wajib Tersenyum
"Karena lembaga pendidikan sejatinya harus steril dari tempat kampanye baik dilakukan oleh timses, kandidat dan panitia. Hal ini juga sejalan dengan UU pemilu nomor 7 tahun 2017 pasal 280 ayat 1 yang memiliki pesan yang sama untuk perlindungan anak dalam larangan lembaga pendidikan dipakai untuk kampanye," kata Jasra dalam keterangan yang diterima redaksi, Kamis (11/10/2018).
Dirinya berharap, penyelenggara Pemilu (KPU-Bawaslu) untuk bisa menjalankan regulasi tersebut secara tegas, sehingga lembaga pendidikan bisa berjalan sesuai tujuanya yakni menciptakan anak-anak Indonesia yang memiliki keunggulan intelektual, emosial dan spritual yang baik.
Sedangkan terkait anak-anak yang memiliki hak pilih (17-18 tahun) agar mendapatkan informasi visi dan misi kandidat, tentunya ada upaya lain untuk menyampaikan informasi kepada mereka seperti medis sosial atau media informasi lainnya yang mudah di pahami oleh mereka.
Karena dengan diizinkannya praktek kampye di sekolah rentunya hal tersebut akan menghambat kegiatan belajar mengajar para siswa.
"Jadi biarkanlah anak-anak kita melakukan kegiatan pendidikan sekolah dan mari kita lindungi mereka agar bisa tumbuh dan berkembang secara baik. Kalau sekiranya dijinkan, maka tidak terbayang oleh kita caleg yang jumlahnya 300 ribu lebih, calon DPD dan 2 pasangan capres melakukan kampanye di sekolah,” katanya.
Dalam pengawasan KPAI pada pemilu 2014 data penyalahgunaan anak dalam politik dan penggunaan fasilitas pendidikan untuk kampanye cukup tinggi oleh Partai Politik. Sehingga dengan begitu, hal ini akan menambah data penyalahgunaan anak dalam bentuk politik.
"Kita mengidentifikasi 15 bentuk jenis penyalahgunaan anak dalam politik terkumpul data 285 pelanggaran hak anak oleh partai politik waktu itu. Kemudian pilkada 2017 kita juga menemukan 36 bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh cakada, timses dan pendukung. Potensi memakai fasilitas pendidikan menempatkan urutan kedua setelah membawa anak dalan kampanye terbuka dalam dua ajang demokrasi tersebut," paparnya.
Menurutnya, walau kampaye disekokah tak diizinkan masih ada tindakan tindakan berbau politik di sekolah, seperti yang terjadi beberapa waktu lalu. Dimana seorang oknum guru mendoktrin muridnya untuk membenci salah satu Capres. Tentunya hal itu sangat disayangkan.
"Apalagi kita ijinkan maka fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan akan terganggu dan bahkan lembaga pendidikan bisa dipolitisir oleh timses, kandidat dan pendukung, sehingga membuat suasana sekolah kehilangan tujuan utamanya dan tidak kondusif dengan tarikan berbagai kepentingan yang datang setiap saat," katanya.