RADAR NONSTOP - Sudah bukan rahasia lagi, selama ini Sekjen Perhimpunan Aktivis Nasional 98 (PENA 98) Adian Napitupulu getol menyerang Menteri BUMN, Erick Thohir.
Namun, Adian Napitupulu belum pernah menyatakan secara gamblang maksud dan tujuannya menyerang Erick Thohir.
Akan tetapi, kali ini, sadar atau tidak, niat Adian Napitupulu nyerang Erick Thohir justru diuangkapkannya justru saat menanggapi kritikan Fadli Zon, Rocky Gerung dan Said Didu terkait sukarelawan Jokowi masuk di BUMN.
BERITA TERKAIT :Pramono Jangan Mau Dikibuli, Para Pemburu Jabatan Jago Klaim Dan Pasang Boneka
Pilkada Banten Dirusak Dengan Politisasi Hukum, Aktivis 98: Kita Tau Siapa Pemainnya
Politikus PDI Perjuangan ini kemudian menyebut, pihak yang tidak mendukung Jokowi di Pilpres 2019 lalu saja boleh meminta posisi di BUMN. Karena itu, pendukung Jokowi bukan hanya boleh meminta posisi tersebut, tetapi malah harus.
"Sederhana saja, dari kabinet hingga BUMN memang harus diisi mereka yang setuju pada program dan ide-ide presiden. Tentunya tetap dengan mempertimbangkan kriteria tertentu seperti profesionalitas," ucapnya.
Anggota Komisi VII DPR ini merasa lucu, ketika mereka yang tidak setuju dengan program dan ide presiden, malah diberi kepercayaan memimpin BUMN dengan aset ratusan miliar hingga triliunan rupiah.
Sementara para pendukung Jokowi seolah tabu masuk BUMN.
Adian juga menyebut, saat pendukung Jokowi mengisi berbagai posisi di BUMN maupun di pemerintahan, itu bukan tindakan balas budi.
Namun, tindakan yang harus dilakukan untuk memastikan program, ide dan target presiden terjaga dan berjalan baik dan sesuai dengan apa yang diharapkan.
"Kira-kira mirip seperti Prabowo yang mengangkat beberapa orang pendukungnya, bahkan yang dulu bagian dari 'Tim Mawar' membantunya dalam kementerian pertahanan," katanya.
Menurut Adian, pelibatan pendukung Prabowo di kementerian pertahanan tentu dengan harapan program, ide dan target Prabowo sebagai menteri bisa berjalan dan tercapai.
"Kalau Fadli Zon, Rocky Gerung, Said Didu mengkritik penempatan sukarelawan Jokowi di BUMN, maka agar kritik itu objektif dan fair, saya rasa perlu juga mengkritik Prabowo yang juga membawa 'gerbong' ke kementerian pertahanan," katanya.
Pentolan aktivis'98 ini menegaskan, jika Fadli, Rocky dan Said tidak berani mengkritik Prabowo, sebaiknya tidak usah berisik terhadap keinginan sukarelawan Jokowi mengisi posisi di BUMN.
Adian mengatakan, ada dampak yang kurang baik jika mereka yang tidak setuju dengan program dan ide presiden, ditempatkan mengelola BUMN.
Antara lain, BUMN cenderung tidak akan produktif maksimal sesuai keinginan presiden. Karena sudah terjadi pertentangan, bahkan penolakan terhadap program, ide dan target Jokowi.
Adian mengakui, mungkin saja mereka yang tidak mendukung Jokowi ditempatkan untuk mengelola BUMN.
Namun, harus setuju terhadap program, ide dan target presiden.
"Untuk sampai tahap penempatan, mereka tentunya harus diuji lewat proses. Karena sikap dan pilihan politik pendukung, biasanya tidak cepat berubah. Kecuali mungkin masuk kategori bunglon profesional," katanya.
Adian kemudian memperkirakan jumlah posisi di BUMN yang mungkin bisa diisi berdasarkan kewenangan eksekutif.
Dia mengasumsikan ada 1.200 perusahaan BUMN, baik induk, anak dan cucu. Masing-masing memiliki tiga direksi dan tiga komisaris. Maka paling tidak ada 7.200 posisi untuk mengisi direksi dan komisaris BUMN.
Kemudian, jika tiap perusahaan bisa mengangkat 5 orang staf khusus direksi, maka total staf khusus bisa mencapai 6.000 orang.
Selain direksi, komisaris dan staf khusus, ada juga advisor di tiap BUMN sekitar 6 orang atau total sekitar 7.200 orang.
Jadi, total posisi di BUMN yang bisa ditentukan oleh eksekutif adalah 20.400 orang.
"Jika 20.400 orang itu loyal pada presiden, maka jumlah itu adalah kekuatan yang luar biasa besarnya, yang seharusnya mampu untuk merealisasikan ide ide besar presiden," tuturnya.
Namun, yang terjadi bisa buruk bagi BUMN jika jumlah itu diisi mereka yang menolak program, ide dan target Jokowi.
"Di sisi lain, jumlah sebesar itu juga bisa saja 'dimanfaatkan' untuk menjadi 'tim sukses' yang dibiayai negara, jika menteri BUMN-nya terobsesi dan berambisi menjadi calon presiden di 2024, tetapi tidak punya partai politik yang bisa menjadi mesin politiknya," kata Adian.
Dia menjabarkan data pemilih Jokowi tiap level di BUMN pada Pilpres 2019 lalu. Menurutnya, hanya di kisaran 22 persen saja, sementara 78 persen sisanya tidak memilih Jokowi.
"Jadi, jika ada 7.200 direksi dan komisaris di BUMN, maka dari jumlah itu kira-kira 1.500 orang yang memilih Jokowi dan sisanya sekitar 5.700 orang tidak mendukung Jokowi atau tidak memilih Jokowi atau tidak bersetuju terhadap program dan ide Jokowi," katanya.
Menurut Adian, jika persentase yang dikemukakan masih sama dan berlaku sama hingga saat ini, bisa saja ada 5.700 orang di posisi direksi dan komisaris BUMN yang menjabat dan dibayar negara, tetapi tidak mendukung program kepala negara.
"Harapan saya, berangkat dari logika sederhana, jika yang mengelola BUMN itu adalah mereka yang mendukung Jokowi, maka seharusnya peran dan kontribusi BUMN akan semakin besar," ucapnya.
Namun, jika yang mengelola adalah mereka yang tidak setuju dengan program dan ide Jokowi, bisa jadi peran dan kontribusi itu akan semakin rendah di kemudian hari.
Adian lantas menjabarkan jumlah pendukung Jokowi yang saat ini menempati posisi direksi dan komisaris di BUMN.
"Kalau dari relawan terorganisir tetapi bukan partai, dalam catatan saya hanya 35 orang surelawan dari 7.200 posisi yang ada. Itu pun sebagian besar melanjutkan dari periode sebelumnya, sementara yang benar-benar baru, tidak lebih dari belasan orang," ujarnya.
Adian kemudian menjabarkan jumlah sukarelawan Jokowi yang sudah diberhentikan Menteri BUMN Erick Thohir dari posisi di BUMN.
Menurutnya, berkisar 50 orang dan beberapa malah diganti dengan mantan calon anggota legislatif dari partai yang tidak mendukung Jokowi.
"Seperti di PTPN 14, ada sukarelawan pendukung Jokowi yang diganti mantan Caleg provinsi dari partai yang hingga hari ini tidak bergabung dalam koalisi partai pendukung Jokowi," tuturnya.
Dalam kesempatan kali ini, Adian kembali menyoroti kebijakan rangkap jabatan di BUMN yang tidak sesuai dengan prinsip profesionalitas dan azas pemerintahan yang baik.
Menurutnya, jumlah rangkap jabatan di BUMN bertambah dari 221 orang menjadi hampir 600 orang.
Dia kemudian mengingatkan Perpres 177/2014 tentang Tim Penilai Akhir Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Dalam dan Dari Jabatan Pimpinan Tinggi Utama dan Pimpinan Tinggi Madya.
Perpres mengatur, pihak yang berhak memutuskan posisi direksi dan komisaris adalah tim penilai akhir (TPA), di antaranya presiden dan mensesneg.
"Posisi Menteri BUMN dalam TPA hanya sebagai anggota tidak tetap yang mengusulkan nama-nama. Bukan yang menentukan keputusan. Lucunya, ada informasi konon ada sekitar 100 nama sukarelawan yang sudah melewati proses TPA melalui presiden dan mensesneg, sudah berbulan-bulan tidak ditindaklanjuti oleh kementerian BUMN," tuturnya.
Adian juga menyebut ada banyak kemungkinan kenapa kementerian BUMN belum menindaklanjuti nama-nama tersebut.
"Salah satunya, bisa jadi nama-nama tersebut dianggap lebih setia pada presiden dibanding pada imajinasi dari ambisi menterinya untuk 2024," pungkas Adian.