RN- Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)Universitas Jendral Soedirman (Unsoed), Fakhrul Firdausi menanggapi polemik ijazah Jaksa Agung ST Burhanuddin yang kini memunculkan pro dan kontra di berbagai kalangan.
Kata Fakhrul, pihaknya tak heran jika ada polemik perbedaan latar belakang pendidikan mantan Jamdatun tersebut.
Fakhrul bahkan menduga pengangkatan ST Burhanuddin sebagai Guru Besar Hukum Pidana Unsoed cenderung bermuatan politis. Apalagi ada perbedaan latar belakang pendidikan Jaksa Agung, ST Burhanuddin yang terungkap dari buku pidato pengukuhan profesornya dan daftar riwayat hidupnya yang dipublikasikan situs resmi Kejaksaan Agung.
BERITA TERKAIT :Getol Garap Kasus Kakap Dan Kalahkan KPK, Kejagung Bakal Bidik Kasus Jumbo Lainnya
Kasus Penggelembungan DPT di Kuala Lumpur Dilimpahkan ke Kejaksaan
"Saya rasa indikasinya bisa ke sana (website Kejaksaan Agung diduga melakukan pembohongan publik)," kata Fakhrul kepada wartawan melalui sambungan telepon, Kamis 30 September 2021.
Fakhrul juga mengungkap fakta bahwa pihaknya tidak mengetahui proses pengukuhan Jaksa Agung sebagai profesor hukum pidana di Unsoed. Ia pun bertanya-tanya mengapa proses seleksinya tidak bisa diketahui secara luas oleh publik apalagi sebagai mahasiswa Unsoed.
"Karena saya merasa pemberian gelar akademik tanpa melalui studi yang ditempuh secara matang dan hati-hati cenderung bermuatan politis, ada kepentingan-kepentingan tertentu yang ingin dicapai sehingga pemberian gelar secara non studi itu dilakukan," kata dia.
Menurutnya, BEM Unsoed sebagai mahasiswa atau civitas akademika bahkan tidak bisa mendapatkan informasi secara jelas. "Terkait layak atau tidak nya Prof ST Burhanuddin ini dijadikan profesor. Atau apakah sudah ada kesesuaian data, informasi serta berkas-berkasnya sudah memenuhi syarat atau belum," ujarnya.
Dengan adanya perbedaan latar belakang pendidikan ST Burhanuddin, pihak BEM Unsoed pun berjanji akan menelusuri lebih jauh. Sebabnya, permasalahan tersebut berkaitan dengan kredibilitas atau kebenaran satu informasi yang menjadi landasan seseorang dikukuhkan menjadi profesor.
"Kami akan berusaha untuk mencari tahu itu (perbedaan informasi latar belakang pendidikan Jaksa Agung) moga-moga kami bisa segera mendapatkan," lanjutnya.
Sejak awal, Fakhrul mengungkapkan bahwa pihaknya secara tegas mengatakan bahwa Jaksa Agung ini tidak layak untuk dikukuhkan sebagai profesor. Karena, lanjutnya, track record beliau sebagai Jaksa Agung yang tidak kunjung memiliki komitmen menyelesaikan pelanggar HAM berat.
"Jadi ketika ada persoalan ketidak cocokan informasi, ini pun kami sebenarnya tidak kaget. Karena memang dari awal kami sudah menilai dari hal yang lebih substansial yaitu tugas wewenang dan fungsi Jaksa Agung yang tidak dijalankan dalam kasus pelanggaran HAM berat," kata Fakhrul.
Sementara Margo Setiawan, Pengamat dari Lintasan 66 (Angkatan 66) menyebut polemik perbedaan latar belakang pendidikan Jaksa Agung merupakan masalah serius. Sehingga Presiden Joko Widodo didesak harus melakukan reshuffle terhadap ST Burhanuddin.
"Kontroversi ijazah Jaksa Agung harus diclearkan karena sangat fatal bagi seorang pejabat publik. Sebab, tidak menutup kemungkinan ada unsur penggelapan informasi dan kebohongan publik," ujar Margo kepada wartawan beberapa waktu lalu.
Dirinya pun memberikan contoh pelawak Komar yang dipenjara dua tahun dan gagal jadi Rektor di Perguruan Tinggi Swasta tidak terkenal hanya karena ijazah abal-abal. "Kejanggalan ini harus bisa diungkap, diklarifikasi, dan diberikan bukti-bukti konkrit," katanya.
Ia pun mendesak agar Jaksa Agung dicopot dari jabatannya dan kasus ijazahnya diusut tuntas. Menurutnya jika terbukti ada unsur penipuan atau penggelapan, maka bisa diusut pidananya. "Ia mesti masuk dalam daftar reshuffle," ujarnya.
Margo menyebut bahwa berbagai permasalahan yang terjadi mengisyaratkan lemahnya kepemimpinan ST Burhanuddin. Seperti kebakaran Gedung Kejaksaan Agung pada 22 Agustus 2020, yang hanya menyeret 5 terdakwa yakni, tukang dan mandor. Pada akhirnya, para tukang hanya dijatuhi hukuman 1 tahun penjara, sementara mandor divonis bebas.
Kemudian majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta meringankan hukuman Jaksa Pinangki Sirna Malasari dari 10 tahun menjadi hanya 4 tahun pada kasus korupsi pengurusan fatwa di Mahkamah Agung (MA). Terkait putusan tersebut, banyak pihak yang menilai jika rasa keadilan yang diabaikan ini banyak dipengaruhi oleh Jaksa Agung, lantaran menjaga kehormatan korpsnya.
Margo menilai, Jaksa Agung diduga telah melakukan aksi yang tidak layak dan tidak patut dengan melakukan pembohongan publik dan telah menciderai kepercayaan rakyat terhadap institusi Kejaksaan. "Kita butuh Jaksa Agung yang kuat agar agenda penegakan hukum seperti yang selalu berulang dikatakan Presiden Joko Widodo, bisa segera terealisasi," kata dia.