RADAR NONSTOP - Polemik pengangkatan Plt lurah Kota Tangerang Selatan dari honorer terus bergulir. Kabarnya, Airin Rahmi Diany memperlakukan manis mereka dengan memberikan gaji hingga Rp 10 juta.
Informasi dari sumber RadarNonstop, puluhan pegawai Tenaga Kerja Sukarela (TKS) menempati jabatan- jabatan stategis di kecamatan dan kelurahan. Mereka di gaji luar biasa diantaranya disebut dia, (Plt) Lurah Rp. 10 juta, Sekretaris Kelurahan (Sekel) Rp. 7,5 jt, dan Kepala Seksi (Kasie) Rp 5 jt.
Direktur Eksekutif Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Infra, Agus A Chairudin mengatakan bahwa, tenaga honorer tidak berhak mendapatkan gaji diatas UMP. Karena UU nomor 30 tahun 2014, mengatur penghasilan disesuaikan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
BERITA TERKAIT :Sekjen PDIP Hasto Tuding Airin-Ade Dikepung & Dihadang Kekuatan Besar Di Banten
Kapolda Metro Minta Polisi Netral, Sikap APK Banten Harus Tiru Jakarta?
"UU 30 tahun 2014 jelas mengatur. Yang menerima gaji sesuai dengan PAD itu, harus berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kalo masih honorer, ngga berhak terima gaji segitu (Rp. 10 juta)," kata Agus saat dihubungi Radar Nonstop.
Lanjut Agus, dirinya menduga hal tersebut adalah merupakan bentuk korupsi baru.
"Itu sudah masuk kepada kerugian negara. KPK harus masuk, karena masuknya suap, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) secara sistematis. Diduga kuat, itu politik dinasti yang tertutup rapat," tandas Agus.
Ada sekitar 20 lurah dari 54 kelurahan di Tangsel masih dijabat pelaksana tugas (Plt) dan juga ada yang diisi non-PNS. Kabarnya habatan tersebut diduduki sudah bertahun - tahun.
Aktivis Tangerang Public Transparency Watch (Truth) Jupry Nugroho juga mempertanyakan jabatan lurah yang diisi Plt dan non-PNS selama bertahun-tahun.
Hal ini dinilai bisa mengganggu pelayanan administrasi. Karena, dalam UU Administrasi Pemerintahan, yang berwenang menjadi Plt ketika pejabat definitif berhalangan adalah seorang pejabat pemerintah dan bukan non-PNS.
Sementara itu Kemendagri menilai kelurahan yang dijabat oleh pelaksana tugas (Plt) itu melanggar UU tentang pemerintah daerah.
"Jika memang betul hal tersebut beliau lakukan, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan maladministrasi sesuai UU 30 Tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan dan pelanggaran nyata terhadap pasal 229 ayat 3 UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah," kata Kapuspen Kemendagri, Bahtiar
Bahtiar mengatakan tim dari Ditjen Otonomi Daerah Kemendagri akan melakukan pemeriksaan ke lapangan. "Besok tim Ditjen Otda segera cek ke lapangan," ungkapnya.