Jumat,  10 May 2024

Transisi Putus Kontrak

PAM JAYA Dinilai Tidak Transparan, KMMSAJ: Seperti Ada Niat Perpanjang

FS
PAM JAYA Dinilai Tidak Transparan, KMMSAJ: Seperti Ada Niat Perpanjang
-Net

RN - Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) pesimis dengan proses penghentian privatisasi air. Putus kontrak Palyja dan Aetra pada tahun 2023 mendatang.

Sebab, upaya Pemprov DKI Jakarta melakukan transisi konsesi pengembalian pengelolaan air, yang digadang-gadang berlangsung 6 bulan, dinilai minim partisipasi publik dan tidak transparan.

KMMSAJ menyatakan, minimnya partisipasi publik dan gelapnya proses transisi pengelolaan air tersebut memungkinkan adanya upaya pemprov memperpanjang kontrak privatisasi.

BERITA TERKAIT :
Arief Nasrudin: Prestasi Oke, Finansial Mantab, Mau Cari Cagub yang Gimana Lagi?
Dirut PAM JAYA, Arief Nasrudin Layak Diusung Jadi Gubernur Jakarta

"Padahal, dibandingkan dengan menyerahkan pengelolaan air bersih di DKI Jakarta kepada swasta, ada banyak solusi alternatif yang bisa dilakukan oleh pemerintah," ucap KMMSAJ dalam keterangan tertulis, dikutip Rabu (23/3).

“Di antaranya, pengembalian pengelolaan air kepada badan usaha milik negara/daerah (BUMN/BUMD) atau menyerahkan pengelolaan tersebut langsung kepada masyarakat."

Privatisasi air di Jakarta, terang KMMSAJ, terjadi akibat perjanjian kerja sama negara dengan swasta sejak 1998 dan masih berlangsung sampai sekarang. Langkah tersebut pun inkonstitusional lantaran bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.

Privatisasi air pun sedikitnya menimbulkan problem di tengah masyarakat. Pertama, tarif air mahal.

Pada awal konsesi, tarif yang dikenakan sebesar Rp1.700/m3. Sebagai dampak dari automatic tariff adjustment policy, tarif pada 2012 melonjak menjadi Rp7.020/m3.

Kedua, ketersediaan air rendah. Ini ditandai dengan masih banyaknya keluhan pelanggan tentang kualitas hingga pengadaan aliran air masih kurang memadai.

"Data ketersediaan air bersih yang dirilis oleh PAM Jaya pada tahun 2017 menyebut, cakupan pelayanan dan akses terhadap air bersih baru mencapai 60% dari total penduduk DKI Jakarta. Artinya, selama 20 tahun lebih privatisasi air, jumlah penduduk yang terlayani hanya meningkat 15% dari kondisi sebelum privatisasi," bebernya.

Ketiga, negara merugi karena mesti menanggung kewajiban pemenuhan hak atas air. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Jakarta mencatat, kerugian yang diderita PAM Jaya sejak meneken kontrak privatisasi air hingga Desember 2015 mencapai Rp1,4 triliun. 

Kerugian muncul karena harus membayar kewajiban (shortfall) perusahaan swasta Rp395 miliar dan Rp237,1 miliar.

"Keempat, kurangnya transparansi dan akuntabilitas. Sampai dengan 2013, dokumen kerja sama antara PAM Jaya dengan korporasi swasta tidak pernah diungkap di publik, padahal publik memiliki hak mengetahui setiap perjanjian kerjasama yang dibuat oleh pemerintah dengan pihak swasta dalam pengelolaan barang publik sebagai bagian dari keterbukaan informasi publik," tuturnya.

Terakhir, beban berlapis bagi perempuan karena berperan sebagai penyedia air keluarga dan rumah tangga. Kondisi ini memaksa perempuan harus bekerja dan berpikir lebih keras untuk memastikan ketersediaan air.

"Perempuan juga terpaksa menggunakan air dengan kualitas yang buruk hingga mengakibatkan gangguan kulit dan kesehatan reproduksi," tegasnya.

Bagi KMMSAJ, perayaan Hari Air Internasional seharusnya mengingatkan masyarakat, bahwa setiap makhluk hidup di muka bumi berhak atas akses atas air bersih, sebanyak-banyaknya, dan seluas-luasnya.

Terlebih, pada situasi pandemi Covid-19 yang masih terus berlangsung, air bersih adalah kebutuhan dasar untuk dapat hidup sehat dan selamat dari penyebaran virus."

Atas dasar itu, dalam rangka memperingati Hari Air internasional 2022, KMMSAJ mendesak Pemprov Jakarta menyetop privatisasi air. Lalu, membuka partisipasi publik atas proses transisi konsesi pengelolaan air dan menjamin pemulihan hak masyarakat miskin, khususnya kelompok rentan, terdampak privatisasi air.