KEWASPADAAN umat, khususnya akhir-akhir ini, perlu ditingkatkan secara terus menerus, terutama di kalangan masyarakat awam yang banyak menjadi korban, karena ketidakmengertian di bidang ilmu agama.
Seringkali kita dengar adanya penipuan berkedok agama oleh `tokoh agama`. Tentunya `tokoh agama` yg dimaksud di sini adalah `oknum` yang tidak bertanggung jawab.
Maka ekses yang ditimbulkan, adakalanya munculnya aliran baru dengan ajaran yang sebelumnya tidak pernah didengar sama sekali, bahkan sangat berbeda dengan apa yg umumya dipahami oleh masyarakat.
BERITA TERKAIT :Merajut Tali Silaturahmi Pasca Pesta Demokrasi
350 Warga Kota Tangsel Ikuti Bimtek Pemulasaran Jenazah
Tidak jarang pula sang oknum secara vulgar mentahbiskan diri sebagai figur seorang Ulama dengan segudang predikat, semisal Kiai, Gus, Lora, Buya, Abati, Habib, Tuan Guru, Ajengan, Ustaz, dan lain-lain.
Padahal dirinya tidak mengerti `Alif Bengkok` (sebuah istilah yang sering digunakan oleh kalangan pondok pesantren sebagai simbul pintar mengaji).
Sesungguhnya, predikat keulamaan tersebut, pada hakikatnya bukanlah hasil `rekayasa` sebuah lembaga resmi pemerintahan maupun lembaga pendidikan. Bahkan pondok pesantren sekalipun, tidak bisa secara serta merta menjamin seluruh alumninya menjadi ulama panutan umat.
Karena pemberian predikat ini menjadi hak `prerogatif`Allah, selaku penentu tunggal bagi nasib dan kodrat hamba ciptaan-Nya.
Yang mana pemberian gelar itu dilewatkan `kesepakatan` masyarakat yang tidak dapat diganggu gugat.
Sering terjadi fenomena di antara para ulama, ternyata mereka tidak tahu dengan pasti, mulai kapan dirinya dipanggil dengan sebutan Kiai, atau Gus, atau Ustadz, dan lain-lain, oleh masyarakat.
Namun ada pula di kalangan ulama yang lebih senang dipanggil dengan sebutan yang umum dipergunakan oleh sesepuh masyarakat seperti panggilan Mbah, Pak, Mas, Kang, Bang, dll. Padahal eksistensi mereka sebagai ulama tidak perlu diragukan.
Realita ini sangat kontradiksi dengan perilaku Sang Oknum pengguna gelar karbitan, yang tidak jarang dalam praktek `ritualnya` sengaja menggaet masyarakat kelas bawah, menengah, bahkan kalangan atas, dengan kemahirannya berdiplomasi dan tutur bahasa yang menarik disertai `bumbu-bumbu` tertentu untuk `menundukkan` calon `mangsa`nya.
Biasanya `ritual` yang diperagakan, tiada lain hanyalah sebagai kedok untuk memuluskan `ambisi` pribadinya. Bisa jadi mencari uang, fasilitas, ketenaran atau kedudukan.
Runyamnya, banyak masyarakat awwam terperdaya, hanya karena melihat penampilan, gaya tutur kata, keberaniannya saat mendekati `calon mangsa`, atau terkadang masyarakat hanya sekedar melihat garis keturunan, tanpa mau menyeleksi secara jeli, benar, dan mendasar tentang hakikat keilmuan dan akhlaq keulamaan Sang Oknum.
Dengan adanya figur oknum semacam ini, maka seringkali `institusi Ulama` berpredikat Kiai, Gus, Lora, Buya, Habib, Tuan Guru, Ustadz dan semisalnya, yang benar-benar original sesuai dengan `rukun dan syarat`-nya, akan menjadi tercemari.
Hal ini karena masyarakat awam, kadangkala `menggebyah uyah` atau menyamaratakan saat menghukumi pelanggaran etika yang dilakukan oleh Sang Oknum.
Contoh kongkrit, dulu ada seorang mantan petinju, yang badannya dibalut dengan tato, serta memelihara anjing Herder, tiba-tiba mentahbiskan diri sebagai Kiai atau Gus. Bahkan karena suatu sebab, keberadaannya dibollow up oleh media.
Oknum ini mengajarkan ritual ‘nyelenehnya’ yaitu mengajak para pengikutnya untuk shalat berjamaah dengan menggunakan dwi bahasa.
Padahal jika ditilik dengan seksama, maka background hidupnya sangat bertentangan dengan `rukun dan syarat` menjadi figur seorang ulama panutan.
Belum lagi yang lagi marak di medsos, adanya oknum dari anak-anak muda, entah itu dari kalangan ustadz, lora, gus, yek, terutama yang sedang naik daun di dunia medsos, namun perilakunya tidak dapat menjaga akhlaq dan adab sopan santunnya terhadap orang-orang shalih yang jauh lebih sepuh daripadanya. Tentu yang seperti ini sangat memprihatinkan.
Contoh lain adalah adanya sekelompok oknum yang berpemikiran liberal. Mereka menerjemahkan ajaran agama disesuaikan keinginan hawa nafsunya, Sebagai contoh, mereka menganggap khamer atau minuman keras itu halal, jika saat meminumnya tidak sampai mabuk.
Atau yang saat ini marak dan digemari kalangan awwam, adalah oknum-oknum yang menampakkan dirinya sebagai wali kekasih Allah, entah itu wali abdal, wali autad atau wali Ghouts, bahkan ada yg mengaku sebagai Imam Mahdi.
Padahal perilakunya bertentangan dengan ajaran Alquran, Hadits Nabi, ajaran para Ulama Salaf Aswaja.
Di sinilah para ulama yang benar-benar waratsatul anbiya (pewaris para Nabi), harus berani dengan tegas menerangkan kepada umat, bahwa tidak semua orang yang di`predikat`kan sebagai Kiai, Gus, Lora, Buya, Abati, Habib, Ustadz, dll harus diikuti dengan membabi buta.
Tetapi hendaklah umat Islam cerdas membaca, manakala ada oknum berpredikat Kiai, Gus, Lora, Buya, Habib, Ustadz dll, tetapi mengajarkan `ilmu` yg bertentangan dengan Alquran dan Hadits, serta ajaran para Ulama Salaf Aswaja, maka umat harus meninggalkannya, bahkan wajib ikut `memerangi` aqidah dan perilaku sesatnya. Wallahu a’lam.
Luthfi Bashori
Pendakwah