Oleh: Tamil Selvan (Kang Tamil)
Penulis merupakan Komunikolog Politik Nasional & Ketua Forum Politik Indonesia
Beberapa hari ini pemberitaan media dihebohkan dengan kerusuhan di Sri Lanka yang membuat Presiden Gotabaya Rajapaksa dan Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe yang dikabarkan kabur akibat diserbu ribuan demonstran.
BERITA TERKAIT :Kevin Diks Dilirik Klub Liga Utama Jerman
Ole Romeny Bela Skuad Garuda Maret 2025
Masyarakat Sri Lanka marah karena menilai pemimpin negaranya tidak mampu memimpin dan membawa negaranya keluar dari krisis keuangan yang semakin menjadi akibat pandemi covid 19.
Mengutip laporan BBC, Sri Lanka sedang berusaha untuk merestrukturisasi utang lebih dari USD50 miliar (lebih dari Rp748 triliun) yang harus dibayar kepada kreditur asing.
Muncul berbagai propaganda di media, seolah Sri Lanka bangkrut karena hutangnya kepada China. Nyatanya hutang Sri Lanka ke China hanya US$ 8 miliar atau sekitar seperenam dari total utang luar negerinya. Namun ini menjadi gorengan politik yang asik di Indonesia, tentunya untuk memanaskan situasi karena hubungan investasi China selama pemerintahan Jokowi sangat harmonis.
Lalu apa penyebab Sri Lanka Bangrut? Negara kepulauan itu bangkrut karena tidak memiliki mata uang asing untuk membayar hutang luar negerinya yang mencapai 60,85% dari Produk Domestik Bruto (PDB), sementara hampir seluruh bahan kebutuhan pokoknya mereka dapatkan dari Import dan sektor pariwisata yang menjadi tulang punggungnya lumpuh total selama Covid 19.
Pertanyaannya kemudian apakah Indonesia akan menyusul Kebangrutan Sri Lanka? Jika kita bicara data, APBN Indonesia diketahui mencatatkan surplus sebesar Rp 132,2 triliun pada Mei 2022 atau 0,74 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), sedangkan hutang luar negeri Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih terjaga di kisaran 32,5%
Pertanyaan kemudian apakah Indonesia memiliki cukup cadangan mata uang asing untuk pembayaran hutang dan belanja luar negeri? Jawabannya tentu sangat cukup, hal ini dilihat dari sektor eksport hasil bumi Indonesia yang terus meningkat di tahun 2022, baik dari subsektor migas maupun perkebunan.
Disisi lain, Indonesia tidak mengantungkan diri 100% pada import kebutuhan pangan, import kebutuhan pangan hanya dialokasikan sebagai cadangan ketahanan pangan, yang jika hal itu berhenti, Indonesia masih memiliki banyak bahan makanan alternatif yang melimpah.
Lalu apakah Indonesia dalam keadaan aman saja? Hal ini tentu perlu diikuti dengan kajian dan kebijakan yang matang dari pemerintah. Saat ini subsidi sektor konsumtif seperti BBM menjadi beban berat bagi APBN, namun sasarannya masih tidak tepat. Pemerintah perlu membuat kebijakan yang nyaman bagi rakyat dan APBN yaitu menerapkan sistem tepat sasaran dalam pemberian subsidi dan memberantas kartel teknis penyaluran BBM didalam negeri.
Secara politik isu-isu seolah Indonesia akan menyusul Sri Lanka menjadi momok bagi para pengusaha lokal maupun investor, hal inilah yang akan menjadi bahaya bagi kelangsungan siklus perekonomian kita. Jika kepercayaan ekonomi menurun, maka Indonesia dalam bahaya besar. Ritme pilpres saat ini sangat mendominasi, sehingga segala hal dikaitkan dengan kontestasi dan menjadi propaganda untuk menjatuhkan satu dengan yang lain, ini yang bahaya.
Oleh karena itu, solusinya pemerintah perlu tegas dan bijak dalam menjalankan roda pemerintahan. Kontradiktif diantara para menteri yang mementingkan citra pribadinya harus dihentikan. Keegoisan Mahkamah Konstitusi yang menolak hampir 30 gugatan presidential treshold hanya karena legal standing dinilai sangat otoriter. Rancangan KUHP yang banyak kejangalan sebaiknya dihindari sementara.
Intinya, pemerintah harus pandai-pandai memainkan ritme alunan musik kebijakannya, atau gemuruh protes rakyat akibat informasi yang simpang siur akan menyasar kepada penolakan terhadap Jokowi. Ibaratkan sebuah keris yang tak bertuan dan mencari mangsa untuk ditumbalkan.
Jika pemerintahan Jokowi mampu memainkan dawai politik ini dengan harmoni dan tidak jumawa, maka Indonesia akan mampu bertahan dari badai propaganda politik yang lebih seram dari badai krisis ekonomi.