Sabtu,  20 April 2024

Demo Mahasiswa Cirebon Ricuh, LaNyalla Minta Aparat Tidak Represif

Tori
Demo Mahasiswa Cirebon Ricuh, LaNyalla Minta Aparat Tidak Represif
Ketua DPD RI La Nyalla Mahmud Mattalaitti/Dok pribadi

RN - Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menyorot kekerasan yang terjadi terhadap mahasiswa saat demo menolak pasal kontroversial RKUHP dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Unjuk rasa digelar di depan gerbang DPRD Cirebon pada Senin (18/7/2022).

Akibat keributan tersebut, sejumlah mahasiswa menderita luka-luka. Mahasiswi yang ambil bagian dalam demo ini juga dibuat histeris.

BERITA TERKAIT :
Sowan Ke SBY, Prabowo Gak Bicara Kursi Menteri Di Cikeas? 
Dapat Pujian Dari AHY, Sinyal Demokrat Kasih Tiket Pilkada Untuk Pj Gubernur DKI?

"Saya berharap aparat bisa menahan diri. Hindari kekerasan terhadap para mahasiswa. Karena mereka generasi penerus bangsa dan memiliki hak menyampaikan pendapat. Saya berharap tidak terjadi lagi hal-hal seperti ini," tutur La Nyalla.

Senator asal Jawa Timur itu mengatakan, tindakan represif harusnya tidak dibenarkan dalam menangani demonstrasi masyarakat.

"Selama demo berlangsung kondusif, tetap mengedepankan persuasif. Oleh sebab itu, saya juga mengimbau adik-adik mahasiswa meminimalisir peluang hadirnya provokator dalam setiap aksi. Sehingga bentrokan tidak perlu terjadi dalam setiap aksi jalanan," katanya.

Di mata LaNyalla, situasi yang terjadi di masyarakat saat ini memang memaksa para mahasiswa untuk turun ke jalan. Ia berharap pemerintah peka dengan kondisi masyarakat.

"Di tengah kenaikan harga-harga, termasuk BBM, masyarakat dihadapi lagi pada pasal-pasal RKHUP yang kontroversial. Untuk itu, pemerintah seharusnya tidak membuat suasana semakin keruh dengan menghadirkan kebijakan yang membuat massa beraksi," ujarnya.

Dalam demonya itu, para mahasiswa  mengusung dua tuntutan yakni terkait pasal kontroversial RKUHP dan tolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Mahasiswa mempertanyakan empat pasal dalam RKUHP yang dinilai kontroversial. Empat pasal di RKUHP dimaksud yakni 218, 241, 351, dan 256. 

Diketahui, Pasal 218 terkait dengan penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden. Pasal ini, dinilai dapat menyebabkan multitafsir. Juga dapat menimbulkan pandangan otoriter.

Di pasal 241 mengenai ujaran kebencian juga dinilai multitafsir. Sebab, tidak ada garis batas antara ujaran kebencian dan kritik yang dilayangkan kepada pemerintah.

Pada pasal 351 yang dipersoalkan juga dikhawatirkan dapat digunakan untuk membungkam kritik yang dilayangkan kepada pemerintah. Berikutnya pasal 256 terkait pemberitahuan dalam sistematika aksi. Karena bersifat pemberitahuan dan koordinasi, seharusnya tidak dimaknai sebagai perizinan.