RN - Ancaman krisis ekonomi global sudah terjadi. Beberapa negara tajir seperti Eropa dan Amerika Serikat (AS) sudah kena imbasnya.
Di Eropa misalnya, seorang pengusaha toko mainan terpaksa bangkrut dan kini alih profesi. Jhn, begitu biasa si pengusaha disapa terpaksa jadi pemulung.
Bahkan, banyak pekerja serabutan yang kini jatuh ke lubang kemiskinan ekstrem, diantaranya menjadi pemulung sampah untuk sekedar bisa makan, atau antri di pasar barter untuk menukarkan barang-barang yang tersisa untuk hidup.
BERITA TERKAIT :Beda Dengan Jokowi, Prabowo Tancap Gas Tanpa Pecitraan Dan Bawa Oleh-Oleh Investasi
19,9 Ribu Ibu Hamil Kurang Energi, Sri Mulyani Sebut Anggaran Kesehatan Rp187,5 T
Jokowi memang sudah mewarning soal dampak ancaman krisis global. Untuk itu, semua pihak diminta waspada dan hati-hati.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia sebelumnya mengatakan ekonomi global sedang mengalami masa yang tidak menguntungkan.
Bahlil yang sekaligus Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengatakan ekonomi global sedang mengalami masa yang tidak menguntungkan. Hal tersebut turut mengancam perekonomian Indonesia.
“Ekonomi global sedang mengalami suasana yang sangat tidak menguntungkan. Dalam bahasa saya, ekonomi global saat ini gelap. Jangan artikan gelap dalam maksud politik, ini gelap yang sesungguhnya,” ucap Bahlil dikutip dari siaran YouTube Kementerian Investasi - BKPM, pada Rabu sore, 5 Oktober 2022.
Lalu, Presiden Bank Dunia David Malpass mengatakan ekonomi global sangat dekat dengan resesi. Alasannya inflasi tetap tinggi, suku bunga naik, dan beban utang yang meningkat menghantam negara-negara berkembang.
"Kami telah menurunkan perkiraan pertumbuhan 2023 kami dari 3,0 persen menjadi 1,9 persen untuk pertumbuhan global, itu sangat dekat dengan resesi dunia," kata Malpass, pada konferensi pers selama pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia, dikutip Jumat (14/10/2022).
"Semua masalah yang diperhatikan orang, masalah inflasi, kenaikan suku bunga, dan pemutusan aliran modal ke negara berkembang sangat memukul orang miskin," katanya. Ia menyoroti penumpukan utang negara-negara berkembang. "Itu adalah resesi dunia yang bisa terjadi dalam keadaan tertentu."
Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan pada pertengahan September, Bank Dunia memperingatkan bahwa ketika bank sentral di seluruh dunia secara bersamaan menaikkan suku bunga sebagai respons terhadap inflasi, dunia mungkin akan menuju resesi global pada 2023, dengan perkiraan pertumbuhan hanya 0,5 persen.
Presiden Bank Dunia mencatat pada konferensi pers bahwa pertumbuhan penduduk dunia diperkirakan sebesar 1,1 persen per tahun. "Jadi jika pertumbuhan dunia jauh lebih lambat, itu berarti orang-orang akan mundur," kata Malpass menjawab pertanyaan dari Xinhua.
Mengutip laporan Bank Dunia baru-baru ini, Malpass mengatakan bahwa pandemi Covid-19 memberikan kemunduran terbesar bagi upaya pengurangan kemiskinan global sejak 1990, mendorong sekitar 70 juta orang ke dalam kemiskinan ekstrem pada 2020, dan perang di Ukraina mengancam akan memperburuk keadaan.
Menurut Laporan Kemiskinan dan Kemakmuran Bersama, pendapatan median global turun 4,0 persen pada tahun 2020, penurunan pertama sejak pengukuran pendapatan median dimulai pada tahun 1990.
Gelap Gulita
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengingatkan kepada seluruh menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara-negara yang menjadi anggota G20 bahwa dunia saat ini dalam kondisi bahaya.
Peringatan ini dia sampaikan saat memberikan kata sambutan dalam acara 4th Finance Ministers and Central Bank Governor (FMCBG) Meeting di Washington DC, Amerika Serikat, Rabu waktu setempat.
"Saya pikir saya tidak berlebihan mengatakan bahwa dunia saat ini dalam kondisi yang berbahaya," kata dia seperti dikutip dari tayangan YouTube Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia, Kamis, 13 Oktober 2022.
Sri Mulyani mengatakan, tanda bahaya ini harus dihadapi dunia karena munculnya berbagai risiko perekonomian akibat tingginya angka inflasi, lemahnya pertumbuhan ekonomi, krisis energi dan pangan, perubahan iklim, hingga perpecahan geopolitik.
"Perang yang terjadi di Ukraina semakin membuat krisis pangan dan nutrisi terjadi akibat harga-hara energi bergejolak dan harga pangan naik tinggi. Membuat adanya kebijakan pembatasan perdaganagn dan disrupsi pada rantai pasok," ujar Sri Mulyani.
Kondisi ini semakin buruk karena negara-negara dunia masih dalam tahap pemulihan dari dampak Pandemi Covid-19. Di tengah pemulihan yang masih rentan, negara-negara di dunia dikejutkan dengan permasalahan perubahan iklim yang membuat harga pangan kian melambung.
Peperangan yang terjadi di Ukraiana, menurut bendahara negara ini, semakin memperburuk keadaan karena pasokan energi terputus yang berakibat pada krisis energi. Pasokan yang semakin minim ini membuat harga-harga energi melambung tinggi dan mengancam ketahanan energi banyak negara.
"Harga energi yang membuat shock ini berakibat terhadap banyak negara, khususnya negara-negara berkembang yang masih sangat bergantung pada impor energi, Akibatnya mereka kesulitan mengakses pasokan energi dari negara-negara penghasilnya," kata Sri Mulyani.
Seluruh kondisi risiko yang menyebabkan dunia dalam bahaya itu kata Sri membuat bank sentral di banyak negara memutuskan untuk memperketat kebijakan moneternya dengan cara meningkatkan suku bunga acuan secara cepat dengan harapan bisa meredam tingginya inflasi.
"Tapi ini memberikan spill over ke seluruh dunia. Naiknya suku bunga acuan dan mengetatnya likuiditas membuat risiko semakin meningkat dan menyulitkan ekonomi bukan hanya negara berpendapatan rendah dan menengah, tapi juga negara maju," ujar Sri Mulyani.