RN - Kejagung (Kejaksaan Agung) periksa tiga pegawai Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di kasus korupsi tata niaga timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah tahun 2015-2022.
Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana mengatakan pemeriksaan dilakukan terhadap RSK, LS, dan EB selaku evaluator Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) perusahaan penambangan timah yang terlibat di kasus ini.
"Saksi RSK selaku Evaluator RKAB dari PT MCM, PT VIP, PT RBT, PT BTI, PT RNT, dan PT TBU. Saksi LS selaku Evaluator RKAB PT MCM, CV Venus Inti Perkasa. Saksi EB selaku Evaluator RKAB PT MCM dan PT VIP," ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (7/5).
BERITA TERKAIT :Tom Lembong Curhat, Jalankan Perintah Jokowi Soal Impor Gula Tapi Berakhir Bui
Tom Lembong Seret Mantan Mendag, Kejagung Sepertinya Masuk Angin?
Selain ketiga saksi tersebut, Ketut mengatakan penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus juga turut memeriksa 3 saksi lainnya pada Senin (6/5) kemarin.
Ketiganya merupakan EM selaku pihak swasta, WLY selaku pihak swasta dan SMN selaku Manager Marketing Ruko Soho Orchard Boulevard Pantai Indah Kapuk (PIK) 2.
Meski begitu, Ketut tidak merincikan lebih jauh hasil pemeriksaan yang dilakukan kepada keenam saksi itu. Ia hanya mengatakan pemeriksaan dilakukan dalam rangka melengkapi berkas perkara.
"Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara dimaksud," kata Ketut.
Kejagung telah menetapkan total 21 tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata niaga timah di IUP PT Timah. Mulai dari Direktur Utama PT Timah 2016-2021, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani hingga Harvey Moeis sebagai perpanjangan tangan dari PT Refined Bangka Tin.
Kejagung menyebut nilai kerugian ekologis dalam kasus ini diperkirakan mencapai Rp271 Triliun berdasarkan hasil perhitungan dari ahli lingkungan IPB Bambang Hero Saharjo.
Nilai kerusakan lingkungan terdiri dari tiga jenis yakni kerugian ekologis sebesar Rp183,7 triliun, ekonomi lingkungan sebesar Rp74,4 triliun dan terakhir biaya pemulihan lingkungan mencapai Rp12,1 triliun.
Kendati demikian, Kejagung menegaskan bahwa nilai kerugian tersebut masih belum bersifat final. Kejagung menyebut saat ini penyidik masih menghitung potensi kerugian keuangan negara akibat aksi korupsi itu.