RN - Ketua Presidium Jaringan Aktivis Reformasi Indonesia (JARI) 98, Willy Prakarsa meminta masyarakat bisa membedakan antara fiksi dan fakta dalam film "Vina: Sebelum 7 Hari" yang terinspirasi dari kasus pembunuhan pelajar bernama Vina di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, oleh sekelompok geng motor.
“Gegara Film Vina ini, para penonton dipaksa percaya dengan hal - hal yang tahayul. Padahal percaya tahayul itu musyrik dan dosanya tidak diampuni,” ujar Willy Prakarsa, Jumat (7/6/2024).
Buat aktivis, lanjut Willy, percaya pada tahayul itu pelecehan intlektual. “Saya menilai gebrakan Film Vina cukup kereen, terutama strategi dan marketingnya sehingga bisa menarik simpati publik. Miliki persepsi dan berspekulasi atas penilaian Film Vina, itu sich sah - sah aja, namanya juga negara demokrasi,” beber Willy.
BERITA TERKAIT :Meski Diguyur Hujan, Dukcapil Penjaringan Tetap Gelar Pelayanan di Pos RW 17
Biar Tahu Item Loksem Binaan UMKM, Kelurahan Penjaringan Tebar Data di Website Pemkot Jakut
Terkait dengan pihak kepolisian, Willy memberi saran agar persoalan tersebut jangan terlalu dianggap serius. “Lebih baik Polri ungkap dan tangkap kasus - kasus besar lainnya,” tukas Willy.
Willy juga menegaskan, nilai Polri tidak merosot di mata masyarakat dengan adanya Film Vina Cirebon. “Justru narasinya terbalik, Polri tampil lebih humanisme, humble dan perfeksionis dalam menjalin komunikasi dengan masyarakat,” terang Willy
Buktinya, imbuh Willy, orang - orang daftar Akpol dan Bintara masih bejibun dan antri.
“Film Vina itu lebih pada fiksi, kehadiran Polri justru dongkrak Perfilm'an tanah air sehingga para pekerja seni (Artis) kembali bisa beraktivitas. Bangkit dan berkontribusi untuk tanah air. Polri tampil demokratis, penyelesaian dan penegakkan supresmasi hukum berjalan maksimal,” pungkas Willy.