Selasa,  26 November 2024

Arist Merdeka Sirait: Kab. Bogor Darurat Kekerasan Seksual Terhadap Anak

BUD
Arist Merdeka Sirait: Kab. Bogor Darurat Kekerasan Seksual Terhadap Anak
Ketua KPAI Arist Merdeka Sirait

RADAR NONSTOP - Kejahatan seksual terhadap anak di bawah usia lima tahun (Balita) di Kabupaten Bogor terulang lagi dan terulang lagi.

Kali ini menimpa 3 orang anak di bawah usia lima tahun masing-masing inisial DS (4), IY (4), MI (5) yang dilakukan seorang anak remaja HR (14) siswa kelas satu SMP.

Kasus kekerasan seksual ini berawal ketika ketiga korban sedang melakukan aktivitas bermain di rumah adik pelaku NI (5). Kebetulan ketiga korban ini bertetangga dekat dengan HR.

Hasil investigasi Komnas Perlindungan Anak Pokja Bogor dan Lintas Healing Center (LHC) dan Yayasan MGMP di Bogor menyebutkan, setelah HR berhasil memisah ketiga korban dengan adiknya HI (5), HR lalu mengajak ketiga korban bermain mewarnai vagina dengan spidol termasuk penis pelaku HR.

Setelah semua alat kelamin korban berhasil diwarnai, HR kembali memperdaya ketiga korban dengan memasukkan penis secara paksa ke masing-masing vagina korban sampai mengeluarkan darah.

Tiga hari setelah peristiwa itu, salah satu dari tiga korban mengalami demam tinggi yang disebabkan vagina korban terasa perih dan mengeluarkan Nanah.

Kondisi inilah yang akhirnya mendorong orangtua korban melaporkan peristiwa tersebut ke pihak Polres Bogor. Namun sayangnya, penanganan kasus tindak pidana kejahatan seksual ini dirasakan keluarga masih sangat lamban.

Menurut data yang diterima Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Komnas Perlindungan Anak dua tahun belakangan ini, Kabupaten Bogor masuk urutan ketiga terbanyak terjadinya kekerasan seksual terhadap anak di wilayah Jabodetabekjur, setelah Jakarta dan Bekasi.

Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait dalam laporan akhir tahunnya mencatat, sepanjang tahun 2018 di Kabupaten Bogor telah terjadi 229 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Data itu juga melaporkan, pelaku kejahatan seksual terhadap anak umumnya dilakukan oleh orang terdekat korban.

Arist Merdeka menambahkan, angka kejahatan seksual terhadap anak ini meningkat jika dibandingkan dengan laporan kasus pada 2017 yang hanya 188 kasus.

Data ini juga menunjukkan, 26 persen pelakunya adalah usia anak dan selebihnya dilakukan oleh orang dewasa baik dilakukan secara sendiri-sendiri, namun ada juga yang dilakukan secara bergerombol (gengRAPE).

Selain angkanya terus meningkat, sebarannya juga merata dari kampung ke kampung dan dari kecamatan ke kecamatan.

Sementara itu, kata Arist, penegakan hukumnya atas kasus-kasus kekerasan terhadap anak masih dirasakan masyarakat sangat lamban, lemah dan belum berkeadilan.

Menurut Arist, banyak predator kejahatan seksual terbebas dari jerat hukum lantaran kurangnya bukti. Hal ini yang menjadi kendala di setiap penanganan kasus kejahatan seksual terhadap anak.

Pembuktian yang cukup, kata dia, sangat diperlukan untuk bisa menetapkan tersangka. Selain visum et refrentum sebagai salah satu bukti hukum juga korban harus mampu menghadirkan saksi yang melihat terjadinya peristiwa kekerasan seksual itu. Inilah penyebab lambannya penanganan setiap perkara kekerasan seksual khususnya terhadap anak.

Sementara itu, lanjut Arist, perhatian Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor termasuk penyiapan program dan anggaran untuk membangun partisipasi masyarakat yang dapat diintegrasikan dalam Anggaran Dinas PPPA Kabupaten Bogor guna membangun Gerakan Terpadu Perlindungan Anak (GTPA) di seluruh tingkatan baik mulai satu RT, RW, Kelurahan dan Kecamatan masih sangat sedikit atau minimal.

Kendati Kabupaten Bogor oleh Kementerian PPPA RI tahun lalu sudah ditetapkan sebagai salah satu Kabupaten dan Kota Layak Anak, sambung Arist, namun penetapan predikat ini belum mampu mengurangi kejahatan terhadap anak.

"Dari data-data dan kondisi itu, tidaklah berlebihan jika Komnas Anak sebutan lain dari Komnas Perlindungan Anak menilai bahwa Kabupaten Bogor saat ini berada dalam kondisi Darurat Kekerasan Seksual terhadap Anak," tandasnya.

Kata Arist, kondisi inilah yang harus disikapi Pemkb Bogor dengan membangun Gerakan Memutus Mata Rantai Darurat Kekerasan Seksual Terhadap Anak dengan cara membentukan Satuan Tugas Khusus (Satgass) Perlindungan anak atau Relawan Sahabat Anak Indonesia di semua tingkatan di seluruh wilayah hukum Kabupaten Bogor dengan melibatkan partisipasi anak dan partisipasi masyarakat.

"Dengan demikian kasus-kasus pelanggaran hak anak dapat terpantau dengan baik dan dapat diminimalisir," tambah Arist.

Arist lebih jauh menjelaskan, untuk penanganan kasus kejahatan seksual yang menimpa 3 korban anak Balita, Komnas Perlindungan Anak sangat percaya bahwa Polres Bogor secara khusus penyidik Unit PPA Polres Bogor segera akan menindaklajuti perkara ini.

"Komnas Perlindungan Anak bersama Lintas Healing Center, P2TP2A serta MGMP Bogor segera pula berkoordinasi dengan Polres Bogor untuk menyampaikan hasil pemeriksaan psikologis (indept intetview) ketiga korban dan bukti-bukti lainnya," pungkasnya.

BERITA TERKAIT :