Oleh: Ataya AH
Tepat jam 6 pagi, aku telah dijemput. Inilah hari yang dinanti setelah dua bulan tinggal di Pondok Pesantren.
Usai sholat subuh, aku sudah bersiap menunggu ayah dan mamah menjemput ku. Ya, hari ini adalah di mana kami harus cap tiga jari untuk keperluan ijazah.
BERITA TERKAIT :Jual Rumah Gampang-Gampang Susah, Begini Tips Agar Cepat Laku
Jabar Rawan Stunting, Balita Pendek Masih Marak
Aku akan bertemu dengan teman-teman ku di SMP Islam. Pasca kami lulus, 80 persen siswa SMP Islam melanjutkan ke pesantren.
Satu jam kunanti, mobil silver datang. "Man itu ayah mu sudah jemput," ucap Naya, teman satu pondok yang selalu menghafal mobil orangtua teman-temannya sesama santri.
Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung lari. "Ayo Ayah nanti kesiangan." Dengan wajah bingung Ayah langsung putar balik dan meninggalkan pesantren.
Di dalam mobil, hatiku terus bertanya. Apakah Khaira akan hadir. "Semoga saja saya bisa bertemu," gumam ku dalam hati.
Satu jam di dalam mobil, akhirnya aku sampai di depan gerbang sekolah. Ku pandangi, gerbang utama hingga lapangan tempat kami main bola bersama.
"Tak banyak berubah."
Lamunan ku terhenti, saat satu-persatu teman ku berdatangan. Ata, Andi, Rifki dan Zidan kompak memakai baju koko, sarung dan peci putih haji di kepala.
Sedangkan aku, hanya memakai kemeja dan celana bahan. "Hai, Man wah ketemu lagi. Kamu jadi santri di pondok mana? Aku di Sukabumi," ucap Rifki.
"Ciawi Bogor," jawab ku singkat. Rifki adalah salah satu teman dekat ku saat masih di kelas 9 SMP Islam.
Tak lama kami ngobrol, Rifki mengajak ku melihat kelas terakhir ku. Ruangan masih seperti dulu, terbuka dan dan banyak tumpukan buku serta hasil karya siswa.
Tiba-tiba mata ku tertuju kepada robot buatan kami saat menjadi tugas akhir kelas 9. Kupandangi robot itu dengan mantap.
Waktu itu aku membuat robot bersama dengan Khaira, Ica, Rifki dan Arka. Pikiran ku melayang mengingat masa-masa kami membuat robot itu dalam kelompok belajar.
Sebagai koordinator pembuatan robot, aku selalu menugaskan Khaira, Ica, Rifki dan Arka. "Hai Man cepat sudah mulai," teriak Ata.
Aku dan Rifki langsung menuju ruangan guru. Dalam hati aku berharap semoga saja Khaira hadir. "Sekolah di manakah dia? Di pondok kah? Atau di SMA Islam?."
Di ruang guru, kupandangi satu persatu kawan-kawan ku. Dan Khaira tak ada. "Di mana dia, kenapa gak hadir."
Dalam lamunan aku tersentak dengan ucapan seorang cewek dengan suara khas dan lembut. "Assalamualaikum."
Mata ku langsung tertuju ke arah suara. Ooh ternyata Khaira hadir. Inilah yang ku nanti. Dengan pakaian khas baju muslim dan jilbab dia terlihat anggun.
Kupandangi terus Khaira dengan harapan dia langsung masuk barisan antri di belakang ku. "Eeh Man apa kabar. Kamu katanya di pondok juga ya?," ucapnya.
"Iya aku di Ciawi Bogor. Kamu di mana?," jawab ku dengan singkat. "Aku di Jawa Tengah Man," jawabnya.
Hatiku berdebar. Aku memang tipe orang yang tidak banyak bicara. Apalagi sejak di pondok, ustadz ku mengajari kalau tidak penting tak usah bicara. Bicaralah yang penting dan yang baik-baik.
Setelah selesai cap tiga jari, rasa penasaran ku kepada Khaira terus menghantui hati. Berat bibir ini untuk mengajak bicara Khaira.
Apalagi Khaira sedang asyik ngobrol dengan Saqila dan Mutia. "Pertemuan singkat ini akan ku kenang terus."
Aku langsung menuju mobil di mana, ayah dan mamah sudah menunggu. "Apakah sudah Man. Kalau sudah kita pulang,"
Jarak SMP Islam dengan rumah ku 25 menit jika naik mobil. Tapi kalau naik motor hanya 5 menit karena bisa memotong jalan lewat perkampungan. (1-Bersambung)