RADAR NONSTOP-Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menekan biaya utang. Legislator Partai Golkar itu menegaskan, pemerintah sedang butuh banyak uang sehingga biaya utang harus dihemat.
Berbicara pada rapat Komisi XI DPR dengan Menkeu Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia (BI) dalam rangka membahas asumsi dasar RAPBN 2021, Misbakhun mengatakan bahwa beban APBN makin besar karena defisit imbas situasi pandemi Covid-19. “Defisit ini kalau kemudian makin melebar, biaya APBN kita makin besar,” ujarnya dalam keterangan pers, Kamis (3/9).
Menurut Misbakhun, komponen selain utang untuk menambal defisit ialah pajak. Namun, mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan itu merasa pesimistis dengan kemampuan pemerintah mencapai target penerimaan dari perpajakan.
BERITA TERKAIT :19,9 Ribu Ibu Hamil Kurang Energi, Sri Mulyani Sebut Anggaran Kesehatan Rp187,5 T
Perjalanan Dinas Pejabat Cuma Belanja Dan Foto-Foto
“Secara histori kita ini kan sepuluh tahun terakhir tidak pernah mempunyai reputasi untuk mencapai (target pajak, red) apalagi dalam situasi seperti ini, pasti tidak tercapai lagi,” tegasnya.
Oleh karena itu Misbakhun menegaskan, pemerintah harus pintar berhemat. Penerbitan surat utang pun harus dibarengi upaya menghemat komponennya.
“Mau tidak mau kita harus mengurangi komponen biaya penerbitan surat utang pemerintah,” sambungnya.
Misbakhun juga mengingatkan pemerintah akan pentingnya membuat kebijakan yang konsisten dan memberikan kepercayaan diri. “Bahwa pada situasi saat ini yang paling penting adalah sebuah policy yang konsisten dan kemudian memberikan confidence,” ujarnya.
Lebih lanjut Misbakhun menyinggung tentang konsep burden sharing atau berbagi beban antara pemerintah dengan BI dalam menambal defisit APBN. Wakil rakyat asal Pasuruan, Jawa Timur itu mempertanyakan apakah konsep burden sharing hanya untuk APBN 2020 atau berlanjut sampai tahun depan.
Andai burden sharing itu mau dilanjutkan, Misbakhun meminta pemerintah dan BI membahasnya sejak awal. Sebab, alumnus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) itu mengaku khawatir jika burden sharing untuk tahun depan tidak dibahas sejak awal, efeknya justru pada kepercayaan pasar.
“Kalau policy itu diambil mendadak kemudian sinyal kepada masyarakatnya bersifat mendadak, ini akan menimbulkan risiko terhadap confidence di market,” ujarnya. “Menurut saya peluang-peluang ini seharusnya dibicarakan sejak awal,” cetusnya.
Dalam pandangan Misbakhun, peran menteri keuangan sebagai otoritas fiskal dalam penerapan burden sharing masih lebih menonjol ketimbang BI selaku pemegang kewenangan di bidang moneter. Menurutnya, instrumen moneter pun harus dioptimalkan.
“Instrumen kebijakan saat ini yang digunakan untuk mengatasi pembiayaan lebih heavy pada kebijakan fiskal. Harus lebih dioptimalkan kebijakan moneter sebagai instrumen mengatasi kondisi ekonomi yang sedang berat saat ini,” katanya.