RADAR NONSTOP - Keputusan Bank Indonesia (BI) menahan suku bunga acuan (BI-7 Days Reserve Repo Rate) menandakan stabilitas keuangan aman.
President Director Center for Banking Crisis (CBC) Achmad Deni Daruri mengatakan, indikator bahwa stabilitas keuangan Indonesia menguat adalah menurunnya tekanan terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolar amerika.
Kata dia, nilai tukar rupiah terhadap dolar amerika pasca keputusan BI rate, relative tidak mengalami pelemahan yang serius. Berdasarkan interest rate differential, nilai tukar rupiah sudah mencapai keseimbangan baru.
BERITA TERKAIT :Korban Tronton Maut Di Slipi Nambah, 2 Orang Tewas
Seretnya Bisnis Properti, Dari DP Mahal Hingga Cicilan Bulanan Tinggi
"Dalam hal ini, BI cermat dalam membuat keputusan. Pasar obligasi pemerintah juga memperlihatkan tanda yang positif karena capital out flow tampaknya sudah mulai berbalik arah," paparnya.
Hal ini, lanjutnya, juga terllihat dari kecenderungan yang membaik
pada neraca perdagangan. Pada September 2018, tercatat surplus 227,1 juta dolar amerika, setelah pada Agustus mengalami defisit 1,02 miliar dolar amerika.
"Tren positif ini segera ditangkap oleh pasar sebagai signal positif
sehingga tekanan terhadap rupiah juga menurun," kata Deni.
Selain itu, kata Deni, kecenderungan capital inflow akan meningkat
karena harga asset di Indonesia secara relative juga sudah semakin murah dibandingkan dengan harga asset di negara maju.
"Hukum pasar tak akan dapat dilawan dimana pasar akan membeli
aset-aset yang secara relative sudah murah. Tak heran jika capital
inflow global juga memperlihatkan tanda-tanda yang semakin ramah terhadap perekonomian negara berkembang," tuturnya.
Selanjutnya, kondisi positif ini juga tidak terlepas dari upaya
Presiden AS Donald Trump yang mengkritik keras Gubernur The Fed. Trump menginginkan agar bank sentral tidak serampangan dalam mengerek tingkat suku bunga. Kalau perlu, tingkat suku bunga AS (Fed Fund rate/FFR), diturunkan saja.
Kata Deni, Trump mulai berpikir untuk mengganti Gubernur Fed, karena kenaikan FFR tidak hanya merugikan perekonomian AS, namun juga memukul sejumlah negara berkembang.
"Faktor penting yang ikut menentukan stabilnya nilai tukar rupiah
adalah berhasilnya komunikasi yang dilakukan oleh Bank Indonesia dan pemerintah Indonesia pada pertemuan IMF di Bali yang baru lalu untuk meyakinkan pasar," papar Deni.
Deni juga menyebut, Bos IMF Christine Lagarde menyatakan secara terbuka bahwa fundamental ekonomi Indonesia dan sektor keuangannya sudah berada pada kebijakan yang tepat. Komunikasi ini efektif menjangkar persepsi investor global secara efektif.
"Pasar juga merespon secara positif penjelasan pemerintah bahwa
pemerintah Jokowi lebih baik dalam memanfaatkan APBN ketimbang pemerintahan sebelumnya," imbuhnya.
Terkait utang luar negeri, Deni menyebut tambahan di era Jokowi memang lebih tinggi, Namun, angka itu sejalan dengan meningkatnya belanja produktif pemerintah. Dalam belanja infrastruktur, periode SBY hanya Rp456 triliun. Beda di era Jokowi yang berlipat menjadi Rp904,6 triliun.
Tak berhenti di situ, lanjutnya, belanja pendidikan era SBY sebesar
Rp983 triliun. Sementara era Jokowi mencapai Rp1.167 triliun.
Sedangkan belanja kesehatan era Jokowi mencapai Rp249,8 triliun, sementara SBY hanya Rp146 triliun.
"Belanja perlindungan sosial era SBY hanya Rp35 triliun, era Jokowi
mencapai Rp299,6 triliun,"ujarnya.