Jumat,  19 April 2024

OPINI

Puasa Prasangka & Kisah Sufi Yang Angkuh Karena Merasa Lebih Saleh

NS/RN/NET
Puasa Prasangka & Kisah Sufi Yang Angkuh Karena Merasa Lebih Saleh

Oleh Dr Fahruddin Faiz

Di Ramadan yang istimewa tahun ini, adakah semangat puasa kita masih terjaga, selain syarat-rukun, juga sisi batin, makna dan hikmahnya?

Adakah puasa kita sungguh mampu menjadi rem yang secara pakem mengendalikan diri dari cela batin dan cacat perbuatan, khususnya di era sekarang. Ketika kebenaran dan kejernihan sering tersamarkan oleh ambisi dan kepentingan?

BERITA TERKAIT :
Merajut Tali Silaturahmi Pasca Pesta Demokrasi
350 Warga Kota Tangsel Ikuti Bimtek Pemulasaran Jenazah

Puasa tentunya tidak sekadar menahan lapar dan haus saja, namun juga mengendalikan anggota badan dari amal kegelapan dan menjaga hati agar kejernihannya tak terkotori.

Masihkah kita mampu menjaga mata dari melihat dengan penuh curiga atau penuh benci dan cela? Masihkah telinga kita terjaga dari suara-suara yang mengeruhkan kejernihan jiwa?

Masihkah kita mampu mengamankan hati dari menebar prasangka tanpa data? Masihkah kita mampu mengontrol pikiran dari penilaian tanpa penelitian dan kecukupan pemahaman?

Ada satu kisah yang indah tentang menjaga hati dan pikiran ini dari dunia sufi. Suatu hari Imam Hasan al-Basri sedang berjalan-jalan di tepi Sungai Dajlah. Pandangan matanya tak sengaja tertuju kepada seorang pemuda yang sedang asyik duduk berduaan dengan seorang perempuan.

Di samping mereka tampak sebotol arak menggeletak. Melihat pemandangan semacam itu, Imam Hasan al-Bashri kemudian berbisik dalam hatinya, “Alangkah buruk akhlak orang itu dan alangkah baiknya kalau dia seperti aku!”

Tidak lama kemudian, Imam Hasan al-Bashri melihat ada perahu yang melintas di sungai tersebut dengan membawa beberapa orang.  Tiba-tiba perahu tersebut oleng dan terbalik. Orang-orang di atasnya tercebur tenggelam.

Lelaki yang duduk di tepi sungai tadi segera bangkit dan terjun ke sungai untuk menolong para penumpang yang hampir tewas tenggelam. Enam dari tujuh penumpang berhasil ia diselamatkan.

Sesaat kemudian, sambil mencari posisi orang ke tujuh, ia berpaling ke arah Imam Hasan al-Basri dan berkata, “Jika engkau memang lebih mulia daripada saya, maka dengan nama Allah, selamatkan seorang lagi yang belum sempat saya tolong.”

Imam Hasan al-Basri terdiam mendengarkan sindiran laki-laki tersebut. Ia sadar, laki-laki yang tadinya ia pandang dengan jijik itu ternyata telah menyelamatkan enam orang, sedangkan ia sendiri yang merasa lebih mulia, tidak mampu menyelamatkan satu nyawa saja.

Laki-laki itu kemudian menjelaskan kepada Imam Hasan al-Basri.

“Tuan, sebenarnya perempuan yang duduk di samping saya ini adalah ibu saya sendiri, sedangkan botol itu hanya berisi air biasa, bukan anggur atau arak. Bungkusnya saja yang terbuat dari botol bekas anggur.”

Imam Hasan al-Basri menangis mendengar teguran laki-laki tersebut.  Kemudian ia berkata, “Kalau begitu, sebagaimana engkau telah menyelamatkan enam orang tadi dari bahaya tenggelam di sungai, maka selamatkanlah saya dari tenggelam dalam kebanggaan dan kesombongan.”

Sikap berprasangka seperti dilakukan oleh Imam Hasan al-Basri dalam kisah ini mungkin sering kita lakukan. Menilai sebelum punya data pasti, menuduh meski hanya melihat sebagian peristiwa, bahkan memvonis sebelum memahami situasi yang sebenarnya.

Apalagi di era informasi digital masa kini yang sering disebut sebagai era post-truth, yakni satu era ketika kebenaran ditaklukkan oleh emosi dan kepentingan; satu era ketika citra dan tampilan lebih dipentingkan dari fakta dan kebenaran.

Dalam kisah tersebut, betapa Imam Hasan al-Basri menyesal, tidak hanya karena salah dalam menilai, namun juga karena menyadari telah berlaku sombong dan tinggi hati.

Di balik penilaian semena-mena, tanpa dasar, dan bukti memadai, memang tidak terelakkan tersembunyi sebentuk keangkuhan dan kesombongan, bahwa, “Aku orang yang sudah benar, pasti baik, dan nyata mulia.”

Dalam kisah tersebut juga masuk satu analogi yang unik, bahwa orang yang dianggap rendah itu ternyata mampu melakukan kebaikan luar biasa, yang bahkan tidak mampu dilakukan oleh ia yang merasa tinggi dan mulia.

Ia yang dianggap pezina dan pemabuk, ternyata mampu menyelamatkan nyawa enam orang sekaligus. Sementara ia yang merasa mulia, menyelamatkan seorang saja tidak berdaya.

Tentu saja ini pelajaran untuk tidak semena-mena memberi label orang lain sebagai sesat, berdosa, atau sampah masyarakat. Sindiran dalam cerita ini persis sama dengan sindiran Maulana Jalaluddin Rumi: “Jangan kau seperti Iblis. Hanya melihat air dan lumpur ketika memandang Adam. Lihatlah di balik lumpur itu. Beratus-ratus ribu taman yang indah!”

Pada akhirnya, mengingat nasib puasa kita; pelajaran dari kisah Imam Hasan al-Basri ini semoga mampu mengingatkan kita untuk menyempurnakan puasa, dari biasa menjadi istimewa.

Tidak hanya menahan diri dari lapar haus semata, namun juga menjaga anggota badan, hati dan pikiran dari segala laku perbuatan yang membuat-Nya tidak berkenan.

Menjalani Ramadan dan menjaga kualitas puasa di jaman post-truth seperti sekarang memang bukan perkara mudah, namun tentu saja itu jangan menjadi alasan untuk menjalani puasa sekedar penggugur kewajiban belaka; kering tanpa hikmah.

(Penulis adalah Dosen Aqidah Filsafat Islam di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta & Penceramah Kajian Islam)