Jumat,  22 November 2024

Viral Pilihan Ogah Punya Anak Alias Childfree, Ini Kata BKKBN

DIS/RN
Viral Pilihan Ogah Punya Anak Alias Childfree, Ini Kata BKKBN

RN - Belakangan ini, istilah ‘childfree marriage’ atau menikah tanpa memiliki anak, banyak diperbincangkan di media sosial. Sejumlah selebriti hingga influencer bahkan blak-blakan tentang keputusannya untuk childfree.

Fenomena ini turut disoroti oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengatakan, timbulnya isu ini ke publik dapat mendorong masyarakat agar lebih mengenal hak-hak reproduksi, dan untuk mengenal tanggung jawab suatu pasangan dalam satu keluarga.

Terkait hal ini, Hasto mengungkapkan bahwa memiliki anak atau tidak merupakan hak dan pilihan dari masing-masing pasangan. Oleh karena itulah sebelum memutuskan untuk menikah, perlu dilakukan perencanaan pernikahan yang kuat.

BERITA TERKAIT :
RK Sesumbar Menang 1 Putaran, Jangan Sombong Nanti Kalau Kalah Sakit Lho 
Anak Sekarang Hafalnya Lagu Galau Dan K-Pop

“Setiap pasangan calon pengantin sebaiknya melakukan perencanaan pernikahan agar memiliki visi dan misi pernikahan yang sama,” kata Hasto, seperti dikutip dari siaran pers, Senin (6/9/2021).

Dia menjelaskan, perencanaan pernikahan penting agar calon pasangan dapat mengetahui konsep ideal pernikahan. Mulai dari usia pernikahan ideal, kesiapan finansial, fisik, mental dan emosi, hubungan antarpribadi, keterampilan hidup, hingga kesiapan intelektual.

“Berbagai bekal dalam perencanaan pernikahan melalui kursus pranikah itu dapat menjadi modal dalam pengambilan keputusan untuk memiliki anak atau tidak, serta hal-hal lain saat menjalani kehidupan berkeluarga,” ujarnya.

Meski keputusan untuk childfree ada di tangan setiap pasangan, namun Hasto mengingatkan terkait dampaknya pada struktur penduduk di suatu negara. Dia mengatakan, kondisi tersebut juga berpotensi berdampak pada rasio ketergantungan atau rasio beban tanggungan (dependency ratio).

Dependency ratio merupakan angka yang menyatakan perbandingan antara banyaknya penduduk usia non produktif (penduduk di bawah 15 tahun dan penduduk di atas 65 tahun) dengan banyaknya penduduk usia produktif (penduduk usia 15 – 64 tahun).

“Semakin tinggi dependency ratio menggambarkan semakin berat beban yang ditanggung oleh penduduk usia produktif karena harus mengeluarkan sebagian pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan penduduk usia non produktif, dan sebaliknya. Keadaan ini tentu saja dapat menjadi indikator maju atau tidaknya ekonomi suatu negara,” kata dia.

Hasto mengungkapkan, apabila banyak pasangan memutuskan untuk tidak memiliki anak, maka akan berpengaruh pada jumlah penduduk usia non produktif yang meningkat beberapa tahun ke depan. Hal tersebut, sambung dia, dapat menyebabkan tingginya rasio ketergantungan.

“Tingginya rasio ketergantungan dapat menjadi faktor penghambat pembangunan di negara berkembang termasuk di Indonesia, karena sebagian dari pendapatan yang diperoleh dari golongan produktif, terpaksa harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan kelompok yang belum dan sudah tidak produktif,” ujarnya.