Kamis,  21 November 2024

Tunjuk Sebuah Buku, Deputi Gubernur DKI: Sisi Lain Suasana Halim Saat G30 S/PKI

SN
Tunjuk Sebuah Buku, Deputi Gubernur DKI: Sisi Lain Suasana Halim Saat G30 S/PKI

RN – Satu Oktober 1965 menjadi pagi yang menggetirkan bagi rakyat Indonesia. Betapa tidak, saat itu dikabarkan bahwa telah terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh pejuang revolusi oleh kelompok yang belakangan diketahui menggunakan seragam Cakra Birawa lengkap dengan baret merahnya.
 

Ketujuh pejuang tersebut yakni; Jenderal Ahmad Yani, Mayjen R. Suprapto, Mayjen MT Haryono, Mayjen S. Parman, Brigjen D.I Panjaitan, Brigjen Sutoyo Siswomiharjo, dan Lettu Pierre Andreas Tendean. Sementara itu, Jenderal A.H Nasution selamat dan mengalami cedera, namun puterinya terluka parah hingga akhirnya meninggal dunia.

Hal tersebut diceritakan oleh Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Budaya dan Pariwisata saat dikunjungi wartawan di kantornya, Balaikota DKI Jakarta. Menurutnya, atas peristiwa berdarah tersebut, tidak jarang beragam referensi menyebutkan bahwa ada keterlibatan Angkatan Udara Republik Indonesi (AURI) dalam tragedi mengenaskan itu. 

BERITA TERKAIT :
Tersiksa Hidup Dibui, Siskaeee Kapok Bikin Film Porno 
Kisah Willy Dibui Karena Tuduhan Money Politik Diangkat ke Layar Lebar

Namun demikian, kata Dadang, buku yang ditulis oleh Wisnu Djajengminardo yang saat itu menjabat Komandan Wing Ops 005 merangkap Komandan Pangkalan Halim Perdanakusuma memberi sudut pandang lain atas tudingan adanya keterlibatan AURI tersebut.

“Saya ingin ceritakan sedikit apa yang saya baca dari buku Pak Wisnu agar kita bisa melihat sejarah dari berbagai sudut pandang, dalam rangka turut mendidik dan mencerdaskan rakyat agar bertanggung jawab menggunakan hak dan kewajibannya sebagai warga negara," ujar Dadang kepada Wartawan di Jakarta, Kamis (30/9/2021).

"Pada prinsipnya kita semua sangat mengecam keras kekejian dari gerakan PKI itu. Atas kepentingan apapun, kelompok itu tidak boleh dibiarkan tumbuh lagi di Indonesia," sambungnya.

Dadang yang juga Alumni Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) Lemhannas mengisahkan, pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul 06.00 Wisnu dibangunkan Perwira Intel pangkalan seraya mengabarkan bahwa Men/Pangau, Omar Dhani sudah berada di Halim, tepatnya di kantor Koops. 

Usai mandi dan menyiapkan dirinya, kata Dadang, Wisnu lantas menemui Laksamana Omar yang saat itu ditemani Komodor Leo. Omar Dhani memberi tahu kepada Wisnu bahwa dirinya mendengar siaran RRI yang menyebutkan adanya gerakan internal Angkatan Darat serta telah terbentuknya Dewan Revolusi. 

Lebih lanjut Dadang menyampaikan bahwa sekembalinya Wisnu ke Kantornya, Wisnu menerima telpon dari Leo yang mengabarkan bahwa Presiden Soekarno akan ke Halim dan singgah ke Koops. Wisnu, sebut Dadang, diperintahkan untuk menyiapkan rumah Komodor Susanto sebagai tempat istirahat Presiden Soekarno.

“Kira-kira pukul 10.00 Pak Wisnu diberitahu bahwa Presiden sudah di Markas Koops. Di depan kantor Leo Pak Wisnu bertemu ajudan Presiden, Kolonel Maulwi Saelan, lantas menanyakan apa yang terjadi. Lalu Maulwi menyampaikan bahwa pihaknya sedang mencari Jenderal Yani, Jenderal Parman dan beberapa jenderal lainnya yang malam itu diculik dari rumah mereka masing-masing," kata Dadang yang ia kutip dari buku berjudul ‘Kesaksian: Memoir Seorang Kelana Angkasa’ itu.

Jenderal Nas mengalami cedera tetapi selamat. Pak Wisnu lalu menelpon Kolonel Dradjad untuk mendapatkan penjelasan. Dia sendiri juga tidak tahu, sedang cari info ke Dit Pom. Tapi Kolonel Drajad berpesan agar jika Pak Wisnu nanti menghadapi pertanyaan-pertanyaan, Pak Wisnu cukup katakan sudah menemui Kolonel Drajad,” lanjutnya.

Kemudian Dadang mengisahkan, antara pukul 10.00 dan 11.00 Wisnu dipanggil Omar Dhani di Makoops. Wisnu diperintahkan segera menyiapkan satu pesawat C-47 untuk menjemput ibu Gondokusumo, ibu mertua Jenderal A.H. Nasution di Bandung dan dibawa ke Jakarta. Ini berkaitan dengan kondisi puteri Jenderal Nasution yang sedang dirawat di RSPAD Gatot Subroto karena terluka parah akibat terkena peluru. Pesawat pun segera diberangkatkan.

Sekitar pukul 11.00, Dadang melanjutkan kisah Wisnu, Presiden Soekarno istirahat di rumah Santo. Wisnu pun, kata Dadang, melihat ada beberapa orang di rumah Santo antara lain Pak Leimena, Men/Pangal Laksamana Laut Martadinata, Men/Pangau, Men/Pangak Jenderal Sutjipto, Menteri Jaksa Agung Sutardio dan Kolonel KKO Bambang Widjanarko (Ajudan Presiden). Setelah Wisnu memeriksa dan mengetahui bahwa semua keperluan presiden telah terpenuhi seperti kamar tidur, makanan dan sebagainya, Wisnu pun kembali ke kantor.

“Lepas dari berita-berita RRI, briefing dari Komodor Leo, berita-berita dari Kolonel Dradjad dan Kolonel Pak Saelan yang membuat Pak Wisnu confused, keadaan dan suasana Halim tetap seperti biasa. Hiruk pikuk truk-truk dan alat-alat besar Zeni AD yang sedang memperpanjang landasan berjalan seperti biasa. Tak ada sesuatu yang memberi kesan seram dan misterius atau yang merupakan problema bagi Pak Wisnu,” ucap Dadang seperti yang ia baca dari buku pemberian putera Wisnu tersebut.

Dadang mengatakan, Sekitar pukul 16.00 Wisnu mendapat laporan bahwa ada pasukan tidak dikenal masuk pangkalan. Mereka sedang duduk-duduk di dekat bioskop lama (sekarang sudah tidak ada) yang terletak di depan rumah Komodor Santo. Wisnu lalu menuju ke tempat tersebut. Namun, setibanya di depan rumah Santo, Wisnu dicegat oleh Kolonel Saelan dan meminta Wisnu mengusir mereka karena Presiden Soekarno sedang berada di dalam rumah Komodor Santo.

“Di bukunya itu Pak Wisnu bilang bahwa Pak Wisnu saat itu menghadap Pak Omar Dhani. ‘Suruh mereka keluar dari sini, saya tidak mau ada tembak menembak' kata Pak Omar Dhani ke Pak Wisnu. 'Baik Laksamana dan saya memang tidak dapat mengizinkan pasukan asing ada di Halim' jawab Pak Wisnu. Batalyon PGT yang ada di pangkalan sudah mempunyai konsinyes-nya sendiri’," ujar Dadang menirukan percakapan Wisnu dengan Omar Dhani sebagaimana dalam buku yang ia kutip itu.

"Pak Wisnu melihat kebanyakan dari mereka mengenakan seragam Cakra Birawa dengan baret merahnya. Pak Wisnu persilahkan mereka keluar. Walaupun dengan muka marah, komandannya melaksanakan perintah Pak Wisnu. Dengan diantar oleh seorang perwira pangkalan mereka keluar dari Halim. Diluar penjagaan Pos POLAU di jalan dekat Kalimalang mereka berhenti dan beristirahat,” lanjutnya.

Dadang menuturkan bahwa menjelang tengah malam, Wisnu mendapat perintah dari Komando Operasi agar menyiapkan pesawat Dakota untuk mengangkut Menko Aidit ke Adisucipto. Aidit, kata Dadang dari buku Wisnu tersebut diceritakan, akan diantar oleh seseorang dan akan langsung ke pesawat. Ternyata, Aidit baru lepas landas pukul 01.00 tanggal 2 Oktober 1965.

Pada pukul 23.00, Presiden Soekarno bersama Waperdam dr. Leimena meninggalkan Halim menuju Bogor lewat darat dengan mengendarai jeep. Setelah presiden meninggalkan Halim, lanjut Dadang, Wisnu bersama Leo dan Santo di panggil Men/Pangau. “Pak Omar menjelaskan bahwa dia akan terbang dari Halim dan holding di atas untuk selalu memonitor perkembangan-perkembangan. Pak Leo ikut, tetapi Pak Wisnu tinggal karena beliau harus mengurus dan bertanggung jawab atas warga dan materiil di pangkalan. Komodor Susanto juga tidak ikut,” imbuh Dadang.

Sepeninggalnya Presiden Soekarno dan Leimana dari pangkalan Halim, Kisah Dadang, Pada pukul 01.30 Omar Dhani kemudian turut meninggalkan Halim dengan menggunakan pesawat Hercules yang sebetulnya sudah disiapkan untuk dipakai Presiden. Lalu, pada pukul 02.00 Laksamana Muda Udara Sri Moelyono Herlambang (Menteri Negera diperbantukan Presiden) datang dari Medan dengan pesawat Jetstar. 

Dadang menyampaikan sesuai pengalaman Wisnu dalam bukunya bahwa Wisnu lantas menerima laporan pada sekitar jam 06.00 WIB, pasukan Resimen Para Komando Angkatan Dara (RPKĄD) yang dikomandoi Kolonel Sarwo Edhie Wibowo sudah ada di perbatasan Halim sekitar Pondok Gede. 

“Pak Wisnu menemui' Sri Moelyono di Makoops untuk mendapatkan instruksi karena Pak Wisnu menganggap dia sebagai perwira yang tertinggi setelah Pak Omar Dhani dan Pangkoops pergi dari Halim. Pak Sri Moelyono meminta Pak Wisnu menghentikan tembak menembak. Karena, RPKAD bukan musuh AURI. Pak Wisnu lalu memerintahkan Seorang Letnan Pasukan Gerak Tjepat (PGT) untuk meneruskan instruksi cease fire itu kepada Pasukan Pertahanan Pangkalan. Memang sudah terlanjur ada saling tembak yang menyebabkan dua anggota PGT yang sedang bertugas menjaga gudang perminyakan tewas,” kata Dadang.

Dadang melanjutkan, sekitar pukul 06.00 Deputi Operasi Komodor Udara Dewanto terbang di atas Halim untuk mengetahui posisi dari pasukan RPKAD. Setelah dia bisa pin point kedudukannya maka dia mendarat dan dengan mengendarai jeep dan berusaha menemui Kolonel Sarwo Eddie Wibowo. 

Ujung tombak RPKAD berada di jalan Pondok Gede menuju ke Barat, sedangkan Bat. 454 dari Jateng dan Bat. 530 dari Jatim mau pulang menuju ke Timur di jalan yang sama. Untuk menghindari 'head on collision', Komodor Udara Dewanto memanggil Sarwo Eddie dan bersama-sama Komandan-komandan Batalyon mereka menuju ke Koops untuk menemui Sri Moelyono. 

“Kolonel Sarwo sebetulnya hanya ingin meyakinkan diri bahwa tidak ada orang-orang atau pasukan Komunis di Pangkalan Halim. Akhirnya mereka sepakat untuk mengizinkan Pasukan RPKAD masuk. Pak Wisnu dipanggil Laksamana Muda Sri Moelyono dan diberitahu tentang kesepakatan itu,” tegas Dadang.

Sekitar pukul 11.00, Wisnu mendapat laporan bahwa ada satuan-satuan panser mendekati Halim dan mereka sudah di depan pabrik ban ’Intirub'. Satuan itu dipimpin oleh Brigjen Soebiantoro (Mayjen Pur) teman lama Wisnu sejak pendudukan Jepang di Surabaya. Dia mengirim seorang caraka dan minta agar Wisnu mau menemuinya. Wisnu, ucap Dadang, mempersilahkan Brigjen Biantoro untuk masuk Halim menemuinya dengan syarat tidak menggunaka pansernya. Namun begitu, Wisnu menjamin keselamatan Brigjen Biantoro. Tetapi, hari itu pertemuan tersebut tidak terjadi.

Lebih Lanjut Dadang menyampaikan, sekitar pukul 17.00 Baret Merah masuk peacefully (sesuai kehendak Pangti APRI agar tidak ada pertumpahan darah) dan mereka beristirahat di lapangan depan kantor Wisnu. Sebagai tuan rumah, Wisnu menyediakan makan seadanya bagi mereka. Dapur pangkalan dibantu oleh ibu-ibu PIA Ardya Garini Halim yang menyiapkan. Dadang menyebut bahwa pasukan itu makan secara ramai-ramai bersama Anggota Kompi Cadangan Halim yang terdiri dari personil-personil administrasi, logistik dan sebagainya di luar pasukan tempur yang menemani mereka. 

“Sekitar pukul 19.00 Pasukan RPKAD meninggalkan Halim. Pak Wisnu masih sempat melihat Mayor Cl Santoso (Mayjen Pur) melambai-lambaikan tangannya sambil tertawa lebar. Sekeyakinan Pak Wisnu, Pak Wisnu dan Santoso sama-sama merasa lega bahwa tidak terjadi sesuatu yang dapat mereka sesalkan kemudian,” ungkap Dadang.

“Tidak ada perebutan, tidak ada pendudukan pangkalan oleh pasukan manapun. Tidak ada pula pasukan komunis. Yang ada awak pesawat dalam keadaan siaga dan membiarkan pasukan yang masuk lalu-lalang. Jangan pula dibayangkan bahwa di pangkalan pasukan PGT yakni Pasukan yang jelas bukan pasukan komunis dalam jumlah besar bersiap-siap menghadang,” imbuh Dadang menirukan ucapan Wisnu.

Untuk diketahui, dalam buku tersebut Wisnu mengungkapkan bahwa PGT didukung oleh kekuatan personil yang hanya sekitar tiga kompi. Pasukan kecil, seperti biasanya pasukan elit di mana-mana. Sebagian besar PGT berada di Margahayu (sekarang Lanud Sulaiman) dan tersebar setelah operasi yang beruntun dari penumpasan PRRI/Permesta, Trikora dan Dwikora. 

“Seandainya dibuat matriks, hanya PGT yang diterjunkan di semua titik/tempur penerjunan operasi ABRI, dari operasi PRRI sampai Dwikora, tanpa 'saingan'. Sementara di komplek pemukiman di dalam pangkalan kehidupan berlangsung seperti sehari-hari. Tenang-tenang saja. Entah siapa yang kemudian menyuntikkan semua dongeng yang mendirikan bulu roma itu,” pungkas Dadang persis seperti ditulis Wisnu dalam bukunya.

#PKI   #Film   #Buku