RN - Sukmawati Soekarnoputri, putri presiden pertama Soekarno, memutuskan pindah agama Hindu. Keputusan itu diambil lantaran ingin kembali ke agama leluhurnya, Ida Ayu Nyoman Rai Srimben.
BERITA TERKAIT :Dikepung Kader PDIP Di Jateng, Semoga Mulut Desmond Mingkem?
Diteriaki Provokator Oleh Kader Banteng, Desmond Nyerah Dan Minta Maaf Soal Soekarno
Srimben lahir pada 1881 dari pasangan Nyoman Pasek dan Ni Made Liran. Lahir sebagai anak kedua, Srimben dari kecil tinggal di Bale Agung hingga tumbuh menjadi gadis. Rumah keluarga besar Srimben yang kini ikut wilayah Banjar Bale Agung terbilang sangat luas.
"Rumah kami keluarga besar dengan luas tanah sekitar setengah hektare. Antara satu rumah dengan rumah lain ada hubungan persaudaraan," kata Jro Made Arsana, salah satu pewaris Bale Agung, Minggu (24/10/2021).
Arsana yang juga menjadi penglingsir Bale Agung mengisahkan, Srimben sejak kecil hidup dalam adat Bali yang kuat. Ini karena keluarganya merupakan pemangku atau pemuka agama Hindu.
Setiap hari, Srimben menghabiskan waktunya untuk ngayah atau bekerja dengan tulus ikhlas di Pura Bale Agung. Mulai dari membersihkan pura hingga menyiapkan sesajen yang setiap hari dipakai bersembahyang di pura.
Hingga satu ketika, Srimben sedang membawakan tarian di pura, tepatnya saat Hari Raya Galungan. Tiba-tiba, matanya tertuju kepada seorang lekaki yang sejak tadi menatapnya. Pria itu tidak lain adalah Raden Soekemi Sosrodihardjo.
Soekemi merupakan guru sekolah rendah di Singaraja yang ditugaskan oleh Kementerian Pendidikan Kolonial Belanda. Saat itu, guru asal Jawa itu sudah dua tahun ditempatkan di Bali.
Setelah berkenalan di pura, beberapa hari kemudian Soekemi memberanikan diri ke rumah Srimben. Tanpa disangka, keluarga besar Bale Agung membukakan pintu lebar. Soekemi rupanya punya keahlian membaca lontar sehingga dikagumi keluarga Srimben.
Soekemi memanfaatkan kesempatan itu untuk terus melakukan pendekatan kepada Srimben. Singkat cerita, Srimben pun tak kuasa menolak ketika Soekemi menyatakan cintanya.
Dengan penuh keyakinan, Soekemi lalu datang menemui Nyoman Pasek seraya menyatakan ingin menikahi anaknya.
"Bapak Srimben dengan tegas menjawab tidak bisa. Soekemi orang Jawa, agamanya Islam," tutur Arsana.
Menurut Arsana, penolakan Nyoman Pasek memang sesuai doktrin leluhurnya zaman itu. "Dulu ada semacam doktrin di leluhur kami, kalau laki-laki dan perempuan kawinnya intern di sini saja," ujarnya.
Puncaknya, 15 Juni 1887. Srimben yang saat itu berumur 17 tahun nekat meninggalkan keluarga besar dan melepas adatnya untuk kawin lari bersama Soekemi. Keduanya menikah tanpa restu orangtua Srimben.
Dalam buku "Ibu Indonesia dalam Kenangan" yang ditulis Nurinwa Ki S Hendrowinoto dkk terungkap, setelah pernikahan, Soekemi dan Srimben menemui Nyoman Pasek lewat bantuan seorang kepala polisi. Nyoman Pasek lalu menanyai Srimben.
"Kenapa kamu berani merangkat dengan orang luar? Padahal kamu tahu ini sangat bertentangan dengan adat keluarga Bale Agung. Tidakkah kamu dipaksa?,” ucapnya.
Srimben tak kuasa membendung air mata sambil menjawab "Bapak, saya berani merangkat karena saya sangat mencintai I Raden, begitu pula I Raden terhadap saya."
Meski kecewa, Nyoman Pasek berusaha berbesar hati seraya menimpali "Walaupun begitu, kamu dan I Raden tetap bersalah tidak diperkenankan pulang ke Bale Agung sebelum mendapat izin dari Bapak, dan Bapak akan tetap menyelesaikan persoalan ini ke pengadilan."
Pengadilan akhirnya memutuskan menjatuhkan denda sebesar 25 ringgit setara 25 dolar. Untuk membayar, Srimben harus menjual perhiasannya.
Menurut Arsana, Srimben memang melanggar adat. "Tapi kami akhirnya sadar diri. Rai Srimben itu kan perempuan Bali kawin dengan orang Jawa dan melepaskan adatnya. Bagi kami sudah keluar, ya sudah," ujarnya.
Meski Srimben telah berani menentang adat, Arsana mengatakan semua itu telah diatur dan direncanakan Tuhan. "Ini takdir harus terjadi. Kita juga tidak tahu akan lahir seorang Soekarno," tuturnya.