RN - Kebangkrutan ekonomi yang tengah dihadapi Sri Lanka dan Pakistan merupakan gambaran kondisi Indonesia saat ini.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin mengungkapkan, pengalaman bangsa lain harus menjadi perhatian bersama bagi negara Indonesia yang sangat dinamis perkembangannya.
“Krisis atau fenomena yang terjadi pada negara lain begitu penting bagi Indonesia karena dapat menjadi pembelajaran bagi Indonesia jika suatu hari mengalami hal yang sama,” ujar mantan Staf Khusus Wakil Presiden RI Bidang Ekonomi ini melalui siaran pers, Senin (25/4/2022).
BERITA TERKAIT :Menurut pria yang karib disapa Wija tersebut, krisis Srilanka tak lepas dari kondisi Asia Selatan yang terbilang sangat unik di dunia. “Antara lain pertama, di kawasan yang kecil seperti Srilanka, bermukim 25 persen penduduk bumi. Kehidupan politik sangat dinamis dan amat mendominasi. Kedua, kawasan Asia Selatan sarat konflik kepentingan internal dan persaingan politik antar negara-negara Pakistan, Bangladesh dan India sendiri yang pada 1947 merdeka. Pakistan dan Bangladesh memisahkan diri dari India pada 1971,” urainya.
Secara geopolitik dunia, kawasan tersebut menjadi titik strategis dari negara-negara besar Rusia, Amerika Serikat (AS) dan China. Rusia berkepentingan mencari partner negara yang mempunyai akses ke laut hangat, dan AS mencari proxy Pakistan. Untuk mengimbangi pengaruh Rusia di Asia Selatan.
China juga mememiliki peran dalam krisis ekonomi yang terjadi di Sri Lanka. Negara tersebut belakangan berkepentingan menyukseskan agenda BRI (Belt and Road Initiative) dengan mencari mitra strategis guna mewujudkan agenda BRI melalui fasilitas pinjaman kepada negara-negara di dunia, khususnya di kawasan Asia Selatan.
Agenda BRI berintikan menyukseskan program China untuk menyukseskan ekspor produk-produk China atau import bahan baku yang dibutuhkan dalam negeri/industri China.
"Kehadiran China sebagai aktor baru di Asia Selatan menjadikan kawasan itu semakin dinamis,” terangnya.
Hal itu berpengaruh, sehingga di Pakistan ada perseterusan AS dan China, di Nepal ada persaingan India dan China. Di Sri lanka pun ada perseteruan antara India dan China.
Faktor proyek-proyek China/BRI di Sri Lanka menjadi salah satu faktor yang kemudian membangkrutkan ekonomi Sri Lanka. "Bukan faktor terpenting tapi salah satu faktor pendorong kebangkrutan," imbuh Wija.
Wija menegaskan bahwa Asia Selatan juga merupakan kawasan supplier buruh migran ke seluruh dunia. Terbesar dari India dan Pakistan baru Bangladesh dan Sri Lanka. Banyaknya buruh migran dari Asia Selatan disebabkan oleh terbatasnya resources dari wilayah tersebut yang harus dibagi kepada 1,9 miliar penduduk Asia Selatan.
Karenanya, warga mencari resources baru yang lebih besar dan tersedia di belahan dunia lain terutama negara-negara maju dan timur tengah. "Banyaknya buruh migran itu juga menjadi transfer devisa penting bagi negara India, Pakistan, Bangladesh, Nepal dan Sri Lanka. Yang menarik, ketika terjadi krisis di satu negara Asia Selatan, maka transfer remittance dari buruh migran menjadi membesar. Ada semacam solidaritas dari buruh migran kepada negara-negara bersangkutan ketika mendapat masalah ekonomi.” lanjutnya.
Sementara itu, kondisi pandemi yang melanda dunia mengakibatkan transfer devisa yang semula cukup membantu bagi keseimbangan ekonomi bagi negara-negara Asia Selatan menjadi drastis menurun. Pasalnya, kucuran dana dari luar negeri terhenti.
Bagi kawasan Asia Selatan yang mempunyai alam indah, turisme menjadi faktor penerimaan penting. Terutama bagi Sri Lanka yang populasinya 22 juta jiwa dan menerima turis 2,5 juta orang persen tahun dalam kondisi normal.
"Devisa dari turisme tiba-tiba anjlok karena COVID-19 dan ketika akan recovery, mendadak terjadi krisis perang Rusia dan Ukraina. Warga Rusia adalah turis nomor satu di Sri Lanka. Nomor 3 adalah warga Ukraina. Bisa jadi di Rusia banyak muncul orang kaya baru sehingga di manapun di dunia turisme selalu ada warga Rusia," terangnya.
Wija juga menggarisbawahi bahwa citra Sri Lanka yang kacau dan rusuh, mau tidak mau ikut memperparah situasi. Turisme, investasi, obligasi juga pasti terpengaruh menurun. Recovery Sri Lanka menjadi terhambat.
Bisa disimpulkan, apa yang terjadi di Sri Lanka karena demokrasi yang terdegradasi. Banyak aktivitas antidemokrasi yang dilakukan para politisi Sri Lanka. Akibat demokrasi yang terdegradasi muncul politisi dan pemerintahan yang lalai dan corrupt. Hasilnya kerap muncul kebijakan yang buruk. Tidak untuk kepentingan rakyat tapi untuk interest kelompok, investor politik, etnis.
"Kondisi Sri Lanka yang seperti itu, merupakan warning bagi Indonesia untuk sekadar mengingatkan jika ada hal-hal yang sama terjadi di Indonesia,” tegasnya.
Karena buruknya kebijakan, maka akibatnya fiskal bangkrut dan masyarakat Sri Lanka sengsara. Utamanya karena negaranya tidak mempunyai lagi cukup valas untuk membayar utang-utang luar negeri yang dulu dibayar antara lain dengan devisa remittance buruh migran dan investasi, turisme. "Berikutnya terjadi lingkaran yang menyengsarakan di Srilanka,” pungkasnya.