RN - Resesi ekonomi mengancam Indonesia. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkap risiko resesi ekonomi yang dialami Indonesia sebesar 3 persen.
Angka itu diperoleh berdasarkan survei yang dilakukan Bloomberg. "Kita (Indonesia) relatif dalam situasi yang tadi disebutkan risiko (potensi resesi) 3 persen," tutur Sri Mulyani dalam konferensi pers di Nusa Dua, Rabu (13/7).
Sementara, terdapat negara lain yang potensinya lebih dari 70 persen. Meski demikian, bukan berarti pemerintah terlena.
BERITA TERKAIT :Beda Dengan Jokowi, Prabowo Tancap Gas Tanpa Pecitraan Dan Bawa Oleh-Oleh Investasi
Prabowo Lebih Jago Dari Jokowi, Sekali Gebrak Bawa Rp156,5 Triliun Dari China
Resesi atau kemerosotan adalah kondisi ketika produk domestik bruto (GDP) menurun atau ketika pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal atau lebih dalam satu tahun. Resesi dapat juga diartikan sebagai penurunan aktivitas ekonomi yang signifikan, berlangsung selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun
"Kami tetap waspada, namun pesannya kami tetap akan menggunakan semua instrumen kebijakan, dari fiskal, moneter, sektor finansial, dan regulasi lainnya, untuk memonitor itu (potensi resesi)," ujar Mbak Sri, sapaan akrabnya.
Sejauh ini, bendahara negara menilai ekonomi Indonesia masih cukup positif. Sebab, sektor keuangan RI lebih kokoh setelah kejadian krisis 2008-2009 lalu.
"Hal yang baik adalah semenjak krisis 2008-2009 krisis global, sektor keuangan kita relatif lebih prudent, sehingga mereka tangguh, NPL juga terjaga," papar Ani.
Selain itu, Sri Mulyani mengatakan utang luar negeri pemerintah menurun. Begitu juga dengan utang korporasi yang semakin rendah.
"Artinya harus belajar dari krisis global 2008-2009, sektor korporasi, finansial, APBN, moneter, semuanya mencoba memperkuat diri sendiri pada saat hadapi risiko sekarang ini. Kita dalam situasi daya tahan masih lebih baik, makanya disebut rating lebih kecil," beber Ani.
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), utang luar negeri RI sebesar US$415 miliar pada akhir Mei 2022. Angka itu turun 4,9 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Lebih lanjut ia mengaku dunia memang sedang menghadapi potensi resesi di tengah lonjakan inflasi. Hal ini seiring dengan kebijakan kenaikan suku bunga acuan di beberapa bank sentral dunia.
"Pengetatan kebijakan moneter dalam bentuk kenaikan suku bunga dan likuiditas dan ini juga bisa menciptakan konsekuensi dalam bentuk resesi," terang dia.
Selain itu, perang Rusia-Ukraina, kenaikan harga BBM hingga pangan juga membuat inflasi melonjak di sejumlah negara.
Ambil contoh, inflasi AS tembus 8,6 persen pada Mei 2022. Begitu juga Inggris yang mencatat inflasi lebih dari 9 persen.
"Di Eropa, waktu itu bicara tentang selalu deflasi sekarang sudah di atas 6 persen. Jepang juga biasanya deflasi, sekarang inflasi. Jadi, kita tidak meremehkan ancaman inflasi itu," katanya.
Beberapa negara, lanjut Ani, bahkan sudah tak kuat memikul beban ekonomi setelah bertahan dua tahun melawan pandemi covid-19. Hal itu terlihat dari berbagai indikator, seperti neraca pembayaran, neraca perdagangan, cadangan devisa.
"Lalu, ketahanan (suatu negara) akan terlihat dari perekonomian, apakah mereka memiliki pertumbuhan yang tinggi dan harga yang stabil sebelum dan sesudah pandemi," ucap Ani.
Selain itu, kuat atau tidaknya suatu negara juga bisa dilihat dari utang, pembayaran utang, dan defisit atau surplus APBN.
"Lalu, kondisi rumah tangga serta korporasi. Apakah korporasi itu eksposur terhadap utang tadi banyak? Ini yang akan mendorong kemungkinan terjadi krisis di suatu negara," ucapnya.
Sebelumnya, Presiden Bank Dunia David Malpass mengungkapkan beberapa negara sulit menghindari resesi ekonomi karena perang antara Rusia-Ukraina hingga gangguan rantai pasok di global.
"Perang di Ukraina, penguncian wilayah di China, gangguan rantai pasok, dan risiko stagflasi memukul pertumbuhan. Bagi banyak negara, resesi akan sulit dihindari," ungkap Malpass, dikutip dari laman resmi Bank Dunia, Rabu (6/7).
Dalam ilmu ekonomi, suatu negara disebut resesi setelah mengalami kontraksi dalam dua kuartal berturut-turut. Menariknya, Bank Dunia mengisyaratkan Indonesia masih bebas dari ancaman resesi.
Menurut laporan Bank Dunia bertajuk Global Economic Prospects periode Juni 2022, ekonomi Indonesia diproyeksi tumbuh 5,1 persen. Angka itu memang turun 0,1 persen dari proyeksi yang dirilis Bank Dunia pada Januari 2022.
Tapi tetap lebih tinggi dari realisasi pertumbuhan ekonomi RI yang sebesar 3,7 persen pada 2021.
Bahkan, Bank Dunia memprediksi ekonomi Indonesia semakin bergeliat sampai 2024 nanti. Lembaga internasional itu memproyeksi ekonomi RI tembus 5,3 persen pada 2023 dan 2024.
Di sisi lain, rata-rata ekonomi negara berkembang diprediksi melambat dari 6,6 persen pada 2021 menjadi 3,4 persen pada 2022. Angka itu jauh di bawah rata-rata tahunan yang sebesar 4,8 persen selama 2011 sampai 2019.
Bank Dunia juga memproyeksi rata-rata pertumbuhan ekonomi negara maju melambat dari 5,1 persen pada 2021 menjadi 2,6 persen pada 2022. Angkanya akan semakin melambat menjadi 2,2 persen pada 2023.
Secara keseluruhan, Bank Dunia merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari 4,1 persen menjadi hanya 2,9 persen pada 2022. Prediksi itu melambat dari posisi 2021 yang mencapai 5,7 persen.