Senin,  04 November 2024

Demi Memuluskan Pencapresan, Politisasi Terhadap KPK Oleh Pendukung Anies Makin Nyaring

CR
Demi Memuluskan Pencapresan, Politisasi Terhadap KPK Oleh Pendukung Anies Makin Nyaring
Koordinataor TPDI & Advokad Peradi Petrus Salestinus -Net

RN - Pandangan sejumlah pihak akhir-akhir ini yang menilai bahwa tidak ada yang salah dengan penyelenggaraan Formula E di Jakarta pada Juni 2022 yang lalu, merupakan pandangan yang subyektif sekedar membela dan memuluskan pencapresan Anies Baswedan.

Begitu dikatakan Koordinataor TPDI & Advokad Peradi Petrus Salestinus menanggapi pernyataan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva bahwa perhelatan Formula E, sangat sederhana.

“Bisa iya, karena dugaan korupsi pada Formula E-pun dengan mudah dan sederhana dapat dibaca oleh publik, tanpa memerlukan metode yang rumit untuk menilai adanya tindak pidana korupsi,” ujar Salestinus, hari.

BERITA TERKAIT :
Jakpro Nyerah Soal Formula E, Iwan Takwin Lempar Handuk?
Bek Liverpool Jadi Bos Tim F1

Salestinus mengatakan, dilihat dari aspek Undang - Undang Keuangan Negara, maka Gubernur DKI Anies Baswedan merupakan Kepala Pemerintahan Daerah, yang diserahi tugas oleh Presiden untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan untuk mencapai tujuan bernegara (pasal 6 dan 7 UU Keuangan Negara).

“Dengan posisi seperti itu, siapapun pejabat Pengelola Keuangan Daerah atau siapapun Kepala SKPD, yang terbukti melakukan penyimpangan dalam penyelenggaraan proyek Formula E, maka Anies Baswedan menjadi orang pertama yang dimintai pertanggung- jawaban pidana bahkan berpotensi menjadi tersangka,” bebernya.

KPK Tidak Bergantung Pada BPK 

Selanjutnya Salestinus juga menyatakan, pertanggungjawaban pidana bakal dimintai KPK terhadap Anies Baswedan, karena ketentuan pasal 34 UU Tentang Keuangan Negara, menyatakan bahwa : Menteri/Pimpinan Lembaga/Gubernur/ Bupati/Walikota yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam UU APBN/Perda tentang APBD, diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai ketentuan UU.

“Soemardjijo, yang mengaku diri sebagai pakar Keuangan Negara, berpendapat bahwa pemeriksaan Anies Baswedan di KPK tidak sesuai dengan Hukum yang berlaku, alasannya, menurut Ilmu Keuangan Negara, penyusunan, pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara itu masuk dalam kewenangan BPK RI”.

“Pandangan Soemardjijo ini adalah sesat dan cenderung membodohi atau mau pamer kebodohan di hadapan publik, karena menurut Undang - Undang Keuangan Negara, bahwa yang bertanggung jawab dalam "penyusunan, pengelolaan dan tanggung jawab atas Keuangan Negara adalah Menteri/Pimpinan Lembaga/Gubernur/ Bupati/Walikota, bukan BPK RI,” jelas Salestinus.

Salestinus menjelaskan, BPK RI memiliki wewenang untuk melakukan "pemeriksaan" secara umum dan menyeluruh terhadap pengelolaan dan tangung jawab atas Keuangan Negara, yang dikelola oleh Menteri/ Pimpinan Lembaga/Gubernur/Bupati-Walikota, meliputi pemeriksaan kinerja, pemeriksaan keuangan maupun pemeriksaan dengan tujuan tertentu. 

Sebagai lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif, KPK diberi tugas dan wewenang untuk mencegah dan memberantas korupsi dengan cara koordinasi, supervisi, minitor dengan meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan korupsi pada instansi terkait (BPK, BPKP, Inspektorat, Akuntan Publik dll.) dan melalukan penyidikan dan penuntutan terhadap tipikor.

“Oleh karena itu pandangan Soemardjijo bahwa pemeriksaan oleh KPK hanya dilakukan ketika BPK mengeluarkan SK kerugian negara, adalah menyesatkan, karena tugas KPK dalam penyidikan dan penuntutan tidak bergantung kepada BPK, karena masih ada BPKP, Akuntan Publik, Inspektorat bahkan ada Auditor intetnal di KPK,” cetus Salestinus.

Pandangan Sesat Soemardjijo

Ada 4 pandangan sesat dari ahli Keuangan Negara Soemaedjijo, yaitu: a. Pemeriksaan KPK hanya dilakukan ketika BPK mengeluarkan SK Kerugian Negara; b. Aparat Penegak Hukum tidak boleh melampaui masuk ke sana dan tidak boleh menentukan kalau belum ada statement dari BPK,"; c. Selama laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK tidak menunjukkan adanya kerugian negara, aparat penegak hukum tidak dapat melakukan pemeriksaan.

d. Setelah hasil LHP mengatakan perlu pemeriksaan dengan tujuan tertentu, baru BPK mengeluarkan SK, bentuk tim. Itu baru diserahkan ke penyidik, ini silakan periksa.

Dikatakan sesat, karena sesuai dengan UU, KPK bekerja berdasarkan Laporan Masyarakat, Laporan BPK RI, Laporan BPKP, Inspektorat, Akuntan Publik dan lain - lain termasuk dari DPR dan DPRD, terkait dugaan tindak pidana korupsi, dengan tetap menjaga independensnya. Artinya LHP BPK itu nilainya setara dengan Laporan Masyarakat kepada KPK.

Dalam kasus Formula E, KPK melalukan penyelidikan berdasarkan Laporan Masyarakat dan/atau laporan DPRD DKI sebagai representasi warga Jakarta, bahwa ada dugaan telah terjadi penyimpangan dalam pengelolaan APBD untuk proyek Formula E. 

“Sementara itu pihak Jakpro mendeclare bahwa Formula E meraup untung sebesar Rp6 miliar rupiah biarlah dijadikan bahan bagi Anies Baswedan untuk membela diri dan posisi KPK menunggu dan menilai kebenarannya,” pungkas Salestinus.