Jumat,  18 October 2024

373 Tewas dan 1.459 Luka

BMKG Dan PVMBG Ribut Soal Tsunami di Banten-Lampung

JPNN/NS/JPC
BMKG Dan PVMBG Ribut Soal Tsunami di Banten-Lampung
Tsunami di Banten yang awalnya dibilang air pasang laut.

RADAR NONSTOP - Tsunami Banten memang mengejutkan banyak pihak. Awalnya, tragedi yang menewaskan sekitar 373 orang 1.459 terluka itu hanya disebut sebagai gelombang laut pasang.

Apalagi langit Banten pada saat Sabtu malam, 22 Desember 2018 lagi terang bulan. Tapi, pernyataan air laut pasang dianulir.

BMKG akhirnya menyebut tragedi Banten adalah tsunami. Anehnya, jika tsunami kenapa tak ada peringatan dini tsunami Selat Sunda, Sabtu (22/12) lalu?

BERITA TERKAIT :
Banten Sedang Tidak Baik, Paslon 02 Andra-Dimyati Hura-hura Gelar Konser
Pandeglang Banyak Orang Miskin, Tapi Dimyati Dan Keluarga Bergelimang Harta?

Ternyata Indonesian Tsunami Early Warning System (Ina-TEWs) hanya didesain untuk mendeteksi tsunami yang disebabkan gempa tektonik.

Menurut Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) Rahmat Triyono, tsunami bisa disebabkan banyak hal.

Gempa bumi, tektonik maupun vulkanik; longsor; atau hantaman meteor. Nah, tsunami yang menghantam sebagian Banten dan Lampung Selatan pada Sabtu malam disebabkan longsor bawah laut yang disebabkan aktivitas Gunung Anak Krakatau.

Dengan demikian, kata Triyono, yang berwenang bukan lagi BMKG. ”Kalau aktivitas gunung api, berarti bukan tugas BMKG, tapi PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi),” kata Triyono.

Namun, PVMBG menepis lemparan dari BMKG itu. Kepala Bidang Mitigasi Gerakan Tanah PVMBG Agus Budianto mengatakan, kabar yang beredar bahwa terjadi longsoran bawah laut akibat aktivitas Gunung Anak Krakatau belum bisa dibuktikan. ”Tim kami masih menyelidiki di lapangan,” katanya.

Menurut Agus, mendeteksi tsunami adalah tugas BMKG. Apa pun penyebabnya. PVMBG tidak memiliki infrastruktur peringatan dini. Selama ini peringatan yang dikeluarkan PVMBG berupa status aktivitas gunung berapi yang meliputi level waspada, siaga, dan awas.

”Namun, gunung api memang punya sistem peringatan dini secara alami. Meletusnya tidak ujug-ujug, ada tanda-tandanya,” kata Agus.

Akun Twitter Event Tracker pada Sabtu malam, pukul 21.15, sudah menyebut bahwa yang terjadi di Anyer, Serang, adalah tsunami. Di saat yang sama, akun resmi BMKG hanya menyebutnya sebagai gelombang tinggi karena bulan purnama.

Baru pada Minggu dini hari, pukul 01.30, BMKG menghelat jumpa pers yang memastikan bahwa yang terjadi di Pandeglang, Serang, dan Lampung Selatan adalah tsunami.

Triyono mengatakan, memang tidak ada gempa yang terdeteksi sebelum datangnya tsunami tersebut. Karena itulah, Ina-TEWs tidak bereaksi.

Triyono juga membenarkan bahwa dalam kondisi seperti Sabtu malam lalu, keberadaan tsunami buoy alias pelampung tsunami sangat dibutuhkan. Namun, Triyono pesimistis keberadaan buoy akan membuat banyak perbedaan. ”Memang mungkin bisa tahu lebih awal. Tapi, mungkin hanya sepuluh sampai 20 menit,” katanya.

Adapun PVMBG memiliki dua sensor yang dipasang di Pulau Sertung dan Pulau Anak Krakatau. Sekitar pukul 21.00 WIB Sabtu, pos pemantauan Gunung Anak Krakatau di Anyer mengetahui bahwa sensor di Pulau Anak Krakatau yang terdekat dengan kawah ternyata tidak berfungsi. "Entah karena terkena lava atau batu pijar atau tertutup debu,” kata Agus.

BACA JUGA: Tsunami Tanpa Gempa di Banten dan Cerita Misteri Prabu Rakata Dari Selat Sunda

Otomatis, pemantauan hanya mengandalkan sensor yang terpasang di Pulau Sertung, yakni pulau yang terletak sekitar 2 kilometer di barat Pulau Anak Krakatau.

Agus mengakui, tsunami yang terjadi Sabtu malam adalah kasus langka. Karena itu, saat ini tim PVMBG masih menyelidiki apakah benar terjadi longsoran bawah laut seperti yang disebut banyak orang.

Sementara itu, pakar tsunami BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) Widjo Kongko yang melakukan kaji cepat mengungkapkan, ada indikasi tsunami tersebut disebabkan erupsi Anak Krakatau. ”Kemungkinan besar terjadi flank failure/collapse akibat aktivitas Anak Krakatau dan akhirnya menimbulkan tsunami,” katanya.

Jika benar itu menjadi penyebab, fenomena tersebut masih berpotensi berulang. ”Aktivitas Anak Krakatau belum selesai dan flank atau collapse yang terjadi bisa memicu ketidakstabilan berikutnya,” katanya.