RN - Bantuan keamanan senilai 95 miliar dolar AS kepada Israel dan Ukraina bisa menambah kusut dunia. Kepastian bantuan itu setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Amerika Serikat menyetujui paket bantuan keamanan 95 miliar dolar AS atau setara Rp 1.500 triliun.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova menuding sikap AS memperburuk krisis global. "Alokasi bantuan AS ke Ukraina, Israel dan Taiwan akan memperburuk krisis global,” tulis Zakharova, seperti dimuat AFP.
Dia menyebut dana militer untuk Ukraina sebagai bantuan langsung AS untuk kegiatan teroris. Kemudian dana untuk Taiwan disebut Zakharova sebagai intervensi Washington terhadap kebijakan luar negeri Beijing.
BERITA TERKAIT :Masjid Bersejarah Lebanon Berusia 100 Tahun Hancur Dibom Israel
Larang Iran Punya Senjata Nuklir Tapi Jaga Israel, Kamala Harris Gak Netral?
Sementara dukungan untuk Israel akan memperburuk konflik di kawasan Timur Tengah.
Di tempat lain, juru bicara kepresidenan Rusia Dmitry Peskov menilai pendanaan AS terhadap Ukraina hanya akan membawa malapetaka bagi negara itu.
"AS akan semakin kaya, Ukraina justru akan hancur dan akan lebih banyak tentara yang tewas dalam perang," kata Peskov.
Pada Sabtu (20/4), DPR AS mengesahkan rancangan undang-undang yang berisi pemberian bantuan keamanan senilai total 95 miliar dolar AS.
Dana itu terbagi menjadi lima bagian, dengan Ukraina memperoleh porsi paling banyak yakni 60,84 miliar dolar AS (Rp986 triliun).
Kemudian 26 miliar dolar AS (Rp421 triliun) untuk Israel dan 8,12 miliar dolar AS (Rp131 triliun) untuk untuk Indo-Pasifik, termasuk Taiwan.
Sisanya yakni 9,1 miliar dolar AS (Rp147 triliun) akan digunakan untuk kebutuhan kemanusiaan dan 23 miliar dolar AS (Rp373 triliun) untuk persediaan senjata Washington.
Meskipun ada penolakan keras dari Partai Republik, RUU terkait paket bantuan keamanan itu akhirnya diloloskan dan kini tengah diajukan ke Senat yang mayoritasnya berisi Partai Demokrat.
Senat akan mulai mempertimbangkan RUU yang disahkan DPR pada hari Selasa (23/4). Pengesahan final diharapkan akan dilakukan minggu depan, yang akan membuka jalan bagi Presiden AS Joe Biden untuk menandatanganinya menjadi undang-undang.