RN - Pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta membuka peluang baru bagi pelaku ekonomi budaya Betawi untuk berkembang, khususnya melalui kolaborasi dengan sektor perhotelan.
Hal ini disampaikan oleh tokoh Betawi sekaligus mantan anggota DPRD DKI Jakarta, Munir Arsyad, dalam Dialog Interaktif bertema “Transformasi Jakarta dari Ibu Kota Negara Menuju Kota Global dan Berbudaya yang Berkelanjutan” yang digelar Badan Musyawarah (Bamus) Betawi di kawasan Senen, Jakarta Pusat, Rabu (24/9).
Munir menilai, pergeseran status Jakarta sebagai ibu kota negara harus dibarengi dengan penguatan identitas budaya lokal, salah satunya dengan melibatkan pelaku usaha Betawi, mulai dari pengrajin, seniman, hingga pelaku usaha kuliner ke dalam industri jasa dan pariwisata, termasuk hotel-hotel di Jakarta dan sekitarnya.
BERITA TERKAIT :Waketum Bamus Tekankan Pentingnya Menjaga Identitas Betawi
"Baik sebagai bagian dari promosi budaya ataupun dalam aspek komersial. Berikut adalah beberapa cara pelaku ekonomi budaya Betawi dapat berkolaborasi dengan hotel-hotel," kata Munir.
Ia mencontohkan, makanan khas seperti soto Betawi, kerak telor, atau nasi uduk Betawi bisa dihadirkan di restoran hotel untuk memperkaya pengalaman tamu.
"Hotel juga dapat menyelenggarakan acara khusus yang menampilkan kuliner Betawi atau bazar makanan Betawi untuk memperkenalkan lebih banyak orang pada kekayaan kuliner Betawi," ujar Munir.
Di sisi lain, pertunjukan seni seperti Lenong, Gambang Kromong atau Tari Betawi bisa menjadi daya tarik budaya yang unik bagi wisatawan mancanegara.
Tak hanya itu, menurut Munir, hotel juga dapat bekerja sama dengan seniman Betawi untuk mendekorasi ruang hotel, seperti menggunakan ornamen atau seni ukir Betawi pada interior hotel.
"Ini dapat menambah nilai estetika yang memperkenalkan budaya Betawi kepada para tamu," tutur Munir.
Selain itu, produk-produk kerajinan khas Betawi seperti topeng ondel-ondel, batik Betawi, dan miniatur rumah adat juga bisa dipasarkan sebagai suvenir eksklusif di hotel-hotel.
Bahkan, Munir menyarankan agar hotel-hotel berperan aktif sebagai tuan rumah dalam festival budaya Betawi secara rutin.
Menurutnya, Jakarta harus tetap jadi etalase budaya Betawi, meskipun bukan lagi ibu kota negara.
"Hotel juga dapat menawarkan paket wisata budaya Betawi, yang meliputi tur ke kawasan Betawi tradisional, wisata kuliner, serta kunjungan ke pusat kerajinan atau tempat-tempat bersejarah di Jakarta yang berhubungan dengan Betawi," paparnya.
Dalam kesempatan yang sama, pemerhati kebijakan publik dr. Rendara menekankan pentingnya pelatihan dan pemberdayaan masyarakat Betawi agar mampu bersaing di dunia kerja, khususnya di sektor perhotelan.
Ia menyarankan adanya kemitraan antara hotel dengan organisasi masyarakat Betawi untuk pelatihan keterampilan, seperti layanan pelanggan dan pengolahan kuliner.
Langkah ini dinilai penting untuk meningkatkan kualitas SDM dan memperluas akses kerja bagi generasi muda Betawi.
"Dengan menggandeng budaya Betawi, hotel dapat meningkatkan citra mereka sebagai tempat yang tidak hanya menawarkan kenyamanan modern, tetapi juga memperkenalkan budaya lokal. Ini akan menarik wisatawan yang ingin merasakan lebih banyak tentang kebudayaan dan tradisi tempat yang mereka kunjungi," ujarnya.
Menurutnya, kolaborasi antara pelaku budaya Betawi dan sektor perhotelan dinilai sebagai langkah strategis dalam menjaga eksistensi budaya lokal sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Transformasi Jakarta menuju kota global yang berbudaya dan berkelanjutan dinilai tidak bisa lepas dari peran serta budaya Betawi sebagai identitas asli kota ini.
"Pelaku ekonomi budaya Betawi memiliki banyak peluang untuk masuk dan berkolaborasi dengan hotel-hotel, baik dalam aspek kuliner, seni pertunjukan, produk kerajinan, maupun event budaya.
Kolaborasi ini dapat meningkatkan pengalaman tamu hotel dan membantu melestarikan serta mempromosikan kebudayaan Betawi, sekaligus memberikan dampak ekonomi positif bagi pelaku usaha budaya Betawi," paparnya.
