RN – Jakarta Selatan (Jaksel), tampaknya kini benar-benar kehabisan tempat untuk beristirahat terakhir. Sebanyak sembilan Tempat Pemakaman Umum (TPU) di wilayah ini dinyatakan penuh, dan tidak lagi menerima pemakaman baru. Ironisnya, bahkan setelah meninggal, warga masih harus berhadapan dengan persoalan klasik ibu kota, krisis lahan.
Kepala Seksi Jalur dan Pemakaman Suku Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Jakarta Selatan, Arwin Adlin Barus, mengungkapkan bahwa sembilan TPU yang sudah penuh itu meliputi Tanjung Barat, Jagakarsa, Kampung Kongsi, Grogol Selatan, Kebagusan, Pisangan, Pejaten Timur, Pejaten Barat, dan Cikoko.
“Kapasitasnya sudah habis, jadi pemakaman baru dialihkan ke TPU lain,” ujar Arwin, di Jakarta, Senin (20/10).
BERITA TERKAIT :TransJakarta Menabrak Halte: SOP Jalan, Kesalahan Tetap Berulang!
Dari total 16 TPU di Jakarta Selatan, lebih dari separuh kini tak lagi memiliki ruang tersisa. Sementara itu, TPU lain seperti Jeruk Purut, Tanah Kusir, Cidodol, Kampung Kandang, dan Pasar Minggu disebut sudah terisi lebih dari 95 persen. Artinya, hanya tinggal menunggu waktu sampai semuanya benar-benar padat tanpa celah.
Situasi ini membuat pemerintah terpaksa menerapkan sistem pemakaman tumpang, yakni satu liang untuk beberapa anggota keluarga, dengan jenazah baru dimakamkan di atas jenazah lama. Kebijakan yang oleh banyak warga disebut solusi darura bagi kota yang kehilangan ruang hidup, dan kini, ruang mati.
“Pemerintah Kota Jakarta Selatan menerapkan sistem pemakaman tumpang sebagai solusi utama mengatasi keterbatasan lahan TPU,” ucap Arwin.
Namun, di balik kata “solusi”, terselip tanda tanya besar: mengapa masalah semacam ini selalu muncul tanpa antisipasi nyata? Selama puluhan tahun Jakarta dibanjiri beton dan gedung tinggi, tetapi tidak ada yang berpikir soal tempat beristirahat terakhir bagi warganya.
Kini, bahkan kematian pun harus berbagi tempat. Warga yang ingin memakamkan anggota keluarga harus rela menggabungkan makam dengan yang sudah lebih dulu terbaring, atau mencari TPU lain yang masih ‘bernapas’ ruang, walau jumlahnya terbatas.
Kondisi ini menjadi potret ironis Jakarta modern di kota di mana harga tanah melonjak dan ruang hijau makin sempit, ternyata kematian pun tak lepas dari kompetisi lahan. Lahan hidup dan lahan mati sama-sama menjadi barang mewah.
