RN – Langkah Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Yudhi Sadewa membangun sistem pengawasan berbasis kecerdasan buatan (AI) di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terdengar ambisius, tapi juga menyisakan ironi lama. Ya, teknologi boleh pintar, tapi manusianya belum tentu siap.
Dalam sidak yang digelarnya di Kantor Bea Cukai, Rabu pagi (22/10), Purbaya menilai sistem pengawasan yang ada masih lemah untuk mendeteksi praktik-praktik ilegal. Ia mengaku ingin mengembangkan sistem AI agar bisa memantau langsung aktivitas ekspor-impor secara daring, termasuk potensi underinvoicing kapal barang.
“Sudah bagus, tapi belum sampai level di mana saya bisa memantau semua kapal secara real time,” kata Purbaya. “AI-nya belum dikembangkan. Dalam tiga bulan ke depan kami akan siapkan sistemnya.”
BERITA TERKAIT :KDM Vs Menkeu, Purbaya; Kita Bukan ASN Jabar, Cek Aja Di BI
Namun langkah modernisasi digital ini menimbulkan tanda tanya, mengapa sistem pengawasan negara harus menunggu AI untuk bisa berfungsi optimal? Selama ini, kebocoran penerimaan negara lebih sering terjadi bukan karena kurangnya teknologi, tapi karena lemahnya integritas pengawasan manusia.
Purbaya mengaku akan memperkuat Lembaga National Single Window (LNSW) sebagai pusat intelijen data ekspor-impor. Ia bahkan berencana menghadirkan 10 ahli lintas bidang untuk meneliti potensi kebocoran. Tapi publik mungkin lebih menanti, kapan sistem lama yang sarat ‘lubang’ akan benar-benar ditambal, bukan sekadar diganti nama dan diselimuti jargon digitalisasi?
Dengan realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai mencapai Rp221,3 triliun hingga September 2025, pemerintah seolah ingin menunjukkan bahwa target tetap tercapai. Tapi di balik angka itu, masih tersisa pertanyaan klasik, apakah negara benar-benar tahu berapa besar kebocoran yang tidak terdeteksi?
AI mungkin bisa membaca data, tapi belum tentu bisa membaca niat. Dan di dunia birokrasi, justru ‘niat’ itulah yang sering jadi sumber bocornya penerimaan negara.
