RADAR NONSTOP- Meskipun Komisi III DPR RI secara resmi melalui proses demokratis dan transparan telah menetapkan Irjen Firli Bahuri sebagai pimpinan KPK. Sebagian kelompok yang ada di dalam KPK masih melakukan perlawanan untuk menolak Firli sebagai pimpinan.
Dari informasi yang diperoleh redaksi, Jumat (13/9) ada sebuah grup Telegram yang berisi orang-orang internal KPK dengan nama “Capim 2019” untuk melalukan perlawanan terhadap keputusan DPR RI terhadap pimpinan KPK periode 2019-2023.
Adapun anggota grup itu berisi 25 orang dimana salah satunya ada Capim KPK yang ikut seleksi, mereka diantaranya Novel Baswedan (Penyidik senior KPK), Zulfahdli Nasution (Anggota Diknyanmas KPK), Dian Novianthi (Koordinator Pusat Edukasi Anti Korupsi KPK), Mochamad Praswad Nugraha (Anggota WP) Ganter Rizki Ariotejo, Sujanarko (Direktur Jaringan dan Kerjasama Antar Komisi Instansi KPK yang juga Capim KPK).
BERITA TERKAIT :Setyo Budiyanto Jadi Ketua KPK, Bakal Geber OTT Ke Koruptor
Rakyat Menderita Saat Corona, Koruptor Malah Beli Pabrik Air Minum Di Bogor
Kemudian, Christie (Anggota WP KPK) Muhammad Kharisma Gumilang, (Anggota WP KPK), Danu (Anggota WP KPK), Freddy Reynaldo (Direktur Pembinaan Antar Komisi dan Instansi KPK), Erlangga Kharisma Adikusumah (Anggota Dikyanmas KPK), Hotman Tambunan (Kasatgas Pembelajaran Internal Pusat Edukasi Antikorupsi).
Lalu ada, Budi Santoso (Penasihat KPK), Nova Riza (Anggota WP KPK), Nanang Farid Syam (Penasihat KPK), Isnan (Anggota WP KPK), Benydictus Siumalala Martin Sumarno (Anggota Dikyanmas KPK), Adhi Setyo Tamtomo (Fungsional Direktorat PJKAKI KPK), Putri Rahayu Wijayanto (Anggota PKAKI),bAulia Postiera (Mantan Sekjen WP KPK) Mala (Humas KPK), Farid Andika (Anggota Direktorat Pencegahan KPK) Febri Diansyah (Jubir KPK), Soraya Sri Anggarawari (Anggota Dikyanmas KPK) dan Yudi Purnomo (Ketua WP KPK).
Padahal dalam faktanya, mereka internal yang menolak RUU KPK, seperti kebingungan sendiri misalnya dalam RUU tersebut menyebutkan bahwa KPK diberikan kewenangan mengeluarkan SP3.
“Selama ini, tidak adanya kewenangan SP3 pernah menyulitkan KPK sendiri,” kata sumber internal KPK.
Seprti contoh, dalam perkara penyidikan dengan objek penyidikan dana PLS Provinsi NTT yang dilakukan KPK pada sekitar triwulan ke empat tahun 2014 (masa kepemimpinan AS dkk), KPK telah menetapkan salah satu tersangka dengan nama John Manulangga berdasarkan surat perintah penyidikan Nomor: Sprin.Dik-48/01/10/2014 tanggal 30 Oktober 2014. Tetapi setelah ditelaah ternyata John Manulangga telah meninggal dunia jauh sebelum yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK ( meninggal sekitar tahun 2012 ).
Kemudian akhirnya ditengah kebingungan untuk mengambil langkah terhadap Surat Penyidikan yang sudah terlanjur dikeluarkan, pimpinan KPK pada masa kepemimpinan Taufiqurahman Ruki sebagai Plt, memberanikan diri untuk membuat sebuah produk administrasi penyidikan yang selama ini belum pernah diatur dalam KUHAP maupun KUHP, yaitu berupa surat perintah pencabutan atas surat perintah penyidikan Nomor: Sprin.Dik-48/01/10/2014 tanggal 30 Oktober 2014, yang pada pertimbangannya dijelaskan “bahwa untuk kepentingan penyidikan tindak pidana korupsi serta demi terwujudnya kepastian hukum terhadap tersangka John Manulangga yang telah meninggal.