RADAR NONSTOP - Politisi Partai Golkar asal Rawa Bambon, Jamaludin meminta Pemprov DKI Jakarta agar mematuhi aturan perundang-undangan dalam melakukan mutasi, rotasi, promosi dan demosi.
Hal ini disampaikan Jamaludin menanggapi dugaan adanya pelanggaran terhadap Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 7 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pelantikan dan Pengambilan Sumpah/Janji Jabatan Administrator, Jabatan Pengawas, Jabatan Fungsional, dan Jabatan Pimpinan Tinggi saat melantik 1.125 pejabat eselon II-IV padal 25 Februari 2019, dan saat pelantikan 402 pejabat eselon III dan IV pada 22 dan 25 November 2019.
"Tidak ada hal-hal yang bersifat dadakan, kecuali jika ada kecelakaan yang membuat seorang kepala dinas, lurah, camat dan walikota/bupati berhalangan untuk melaksanakan tugas dan fungsinya, sehingga harus digantikan atau harus ada Plt (pelaksana tugas)," kata politisi yang doyan makan jengkol dan ikan teri ini di Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Senin (9/12/2019).
BERITA TERKAIT :Masa Tenang, Wakil Ketua DPRD DKI Wibi Minta Semua Pihak Turunkan Tensi Politik
DPRD Tangsel Tancap Gas, Kebut 12 Raperda Di 2025
Jamaludin menambahkan, terkait dengan mutasi, rotasi, promosi dan demosi, jika Peraturan Kepala BKN mengharuskan pejabat yang terkena kebijakan tersebut sudah diberitahukan sehari sebelumnya atau H-1, hendaknya dipatuhi.
"Peraturan perundang-undangan dibuat untuk dipatuhi dan ditaati, bukan untuk hanya dipelototi," tegasnya.
Anggota Komisi A DPRD DKI ini mengingatkan bahwa wajar jika ada kecurigaan terhadap mutasi yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta, karena pasal 69 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menyatakan bahwa pengembangan karir PNS dilakukan berdasarkan kualifikasi, kompetensi, penilaian kinerja, dan kebutuhan instansi pemerintah. Sedang pasal 162 PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil menjelaskan, pengembangan karir, pengembangan kompetensi, pola karir, mutasi dan mutasi merupakan manajemen karir PNS yang harus dilakukan dengan menerapkan prinsip Sistem Merit.
Terkait hal itu, lanjut Jamaludin, sistem meritokrasi terkait dengan pemenuhan prinsip right man on the right place.
"Maka, jika aturan perundang-undangan tidak dilakukan, akan menimbulkan keresahan karena ada yang tidak bisa menerima," katanya.
Karena hal itu, Jamaludin menyarankan kepada ASN yang dirugikan atas proses mutasi yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta pada Februari dan November 2019, untuk melapor ke Komite Aparatur Sipil Negara (KASN) atau ke DPRD.
"Sudah waktunya ASN mengubah budaya takut melapor karena khawatir kehilangan jabatan. Kalau apa yang disampaikan benar, tidak usah takut, karena tindakan seseorang untuk melapor dilindungi oleh undang-undang. Juga jangan lempar batu sembunyi tangan. Kalau memang mutasi itu tidak sesuai aturan, katakan yang sebenarnya. Jangan membantah saat diklarifikasi dan jangan pula tidak mengakui apa yang sudah dikatakan," imbuhnya.
Meski demikian, mengacu pada UU Nomor 5 Tahun 2014 dan PP Nomor 11 Tahun 2017, Jamaludin mengingatkan Sekda, Badan Kepegawaian Daerah (BKD) dan perangkat daerah yang terkait dengan kebijakan mutasi, rotasi, promosi dan demosi untuk melaksanakan tugasnya sesuai yang diamanatkan kedua peraturan perundang-undangan itu.
"Fit and proper test yang dilakukan harus mengedepankan meritokrasi. Maka, jika ada dua pejabat yang bersaing untuk jabatan lurah atau camat misalnya, kalau yang satu merupakan lulusan STPDN dan yang satunya bukan, meski ilmunya sama, maka yang lulusan STPDN harus diutamakan. Kalau ada camat atau lurah dijadikan pajabat di Dinas Tata Air, itu kan tidak pas karena seharusnya yang menjabat di SKPD itu seorang insinyur bidang irigasi atau perairan," katanya.
Jamaludin mengakui, orang pintar memang dapat ditempatkan dimana saja, namun jika posisi yang diberikan tidak sesuai disiplin ilmu yang dimilikinya dan dia juga tidak punya pengalaman di bidang dimana dia ditempatkan, maka dia butuh waktu untuk beradaptasi.
Dalam kurun waktu beradaptasi itu, lanjut Jamaludin, kadangkala juga menimbulkan keresahan, karena pejabat itu tidak tahu harus melakukan apa karena bukan bidangnya, dan tidak bersifat tegas.
"Rekrumetmen juga hendaknya transparan dan mengacu pada track record dan reputasinya, bukan ujug-ujug diangkat karena dia "orang kita" dan dimutasi karena "bukan orang kita" alias karena faktor like and dislike. Kalau mau maju ya harus seperti itu, harus profesional," tegasnya.
Ketika ditanya apakah Komisi A akan memanggil Sekda dan BKD? Jamaludin mengatakan kalau pada Desember ini DPRD sedang fokus pada pembahasan APBD.
"Januari kita mungkin sudah dapat mengagendakan rapat kerja dengan bidang pemerintahan. Kita akan menanyakan pelaksanaan Tupoksi (tugas pokok dan fungsi) -nya selama ini bagaimana? Apa saja yang telah dilakukan, bagaimana hasilnya, dan apakah kira-kira grade-nya sudah lebih baik atau belum? Kita akan pantau demi mendorong terciptanya clean and strong government. Tak boleh lagi ada yang mengklaim "saya ini tim sukses gubernur", lalu mendapatkan jabatan. Kalau sekiranya cuma membebani gubernur, sebaiknya jangan direkrut," katanya.
Ketika ditanya apa yang harus dilakukan Gubernur Anies Baswedan untuk mencegah terus terulangnya pelanggaran terhadap Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara? Jamaludin berdiplomasi, bahwa gubernur harus merapatkan barisan.
"Undang tim-tim terkait, Sekda, BKD, asisten-asisten, dan pastikan bahwa pelanggaran itu takkan terjadi lagi. Bagaimana Pemprov DKI mau "bergerak ke luar", kalau di rumah sendiri tidak solid?" pungkasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Sejumlah pejabat di lingkungan Pemprov DKI Jakarta mengeluhkan mekanisme pemutasian yang dilakukan Pemprov DKI pada pelantikan 1.125 pejabat eselon II-IV tanggal 25 Februari 2019 dan pelantikan 402 pejabat eselon III dan IV pada 22 dan 25 November 2019.
Pasalnya, pelantikan-pelantikan itu ditengarai melanggar Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 7 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pelantikan dan Pengambilan Sumpah/Janji Jabatan Administrator, Jabatan Pengawas, Jabatan Fungsional, dan Jabatan Pimpinan Tinggi.
"Kami tidak keberatan dimutasi kemana pun asalkan mekanismenya tepat, karena seorang PNS memang harus siap ditempatkan di mana pun, tapi apa yang terjadi ini membuat kami menjadi bertanya-tanya; ada apa ini?" ujar seorang pejabat yang enggan disebutkan namanya, Selasa (3/12/2019), di Jakarta.
Ia dan pejabat lain mengatakan, pelanggaran terjadi karena pemberitahuan mutasi disampaikan menjelang mereka dilantik, dan pada surat pemberitahuan pun tidak disebutkan kemana mereka dimutasi.
Salah seorang dari mereka mengatakan, saat akan dilantik pada 22 November 2019, ia mendapat pemberitahuan hanya satu jam sebelum acara pelantikan. Akibatnya, ia pontang-panting mencari jas, dan karena jas ia pakai merupakan jas pinjaman, jas itu kekecilan, sehingga tak nyaman untuk dipakai.
"Waktu itu saya sempat berpikir-pikir tentang kemana saya dimutasi? Apakah jabatan saya naik atau turun? Kalau turun, apa masalahnya? Sehari setelah dilantik, baru saya tahu dimutasi kemana," kata dia.
Hal senada dikatakan pejabat yang lain. Mereka rata-rata baru mendapatkan pemberitahuan akan dilantik hanya beberapa jam sebelum pelantikan, dan baru tahu kemana dimutasi setelah dilantik.
"Kalau dibawa ke PTUN bisa batal tuh pelantikan," katanya.
Lampiran Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 7 Tahun 2017 pada poin A angka 4 menyatakan; "PNS yang akan dilantik dan diangkat sumpah/janji jabatan sebagaimana dimaksud pada angka 2 dan angka 3 DIUNDANG SECARA TERTULIS PALING LAMBAT SATU HARI KERJA SEBELUM TANGGAL PELANTIKAN DAN PENGAMBILAN SUMPAH/JANJI JABATAN"