RADAR NONSTOP--Saat ini, harga minyak mentah dunia terus menguat dalam beberapa waktu terakhir. Di pekan ini saja, Brent telah menembus level US$ 80 per barel.
Otomatis, kenaikan ini akan berpengaruh pada keuangan negara. Sebab, Indonesia mengandalkan minyak impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Di satu sisi, pemerintah mempertahankan harga jual beberapa bahan bakar minyak (BBM) dengan subsidi. Lalu, perlukah pemerintah mengerek harga jual bahan bakar?
BERITA TERKAIT :Limbah Minyak Cemari Laut Indonesia, Belanda Dari Dulu Bikin Susah Doang
Jurus Buang Badan Mendag Zulhas Saat Ditanya DPR Soal Harga Migor Latah Naik
Menurut pengamat energi, Komaidi Notonegoro, tingginya harga minyak dunia cenderung berdampak negatif pada struktur keuangan negara atau Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Alias, merugikan keuangan negara kendat, pemerintah juga menerima untung dari tingginya harga minyak.
"Kalau konsisten mekanisme subsidi, kenaikan harga minyak cenderung negatif terhadap struktur APBN. Ada tambahan penerimaan, sisi lain, tapi ada beban subsidi," ungkapnya, kepada wartawan, di Jakarta.
Dipaparkannya, baru-baru ini, kenaikan harga minyak mentah berpengaruh pada membengkaknya subsidi yang ditanggung pemerintah. Saat ini, pemerintah memutuskan untuk menahan harga bahan bakar solar dan minyak tanah.
Nah, di sisi lain, kenaikan harga minyak dunia ini berpengaruh pada kenaikan harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) sebagai acuan penerimaan negara. Harga minyak mentah Indonesia Agustus 2018 bertengger di level US$ 69,36 per barel.
Angka ini lebih rendah dibanding bulan sebelumnya sebesar US$ 70,68 per barel. Tetapi, jauh di atas asumsi makro 2018 sebesar US$ 48 per barel.
Berdasarkan hitungannya, meski penerimaan negara naik karena sejalan dengan harga minyak, tetap saja terjadi defisit. "Penerimaan migas, dari PNBP maupun dari pajaknya, kalau naik (minyak) US$1 per barel, kalau nggak salah masih Rp 3 triliun tambahannya, tapi untuk subsidi energi Rp 4 triliun atau Rp 5 triliun. Jadi masih ada selisih (defisit) Rp 2 triliun sampai Rp 2,5 triliun," cetusnya.
Ujar Komaidi, hal itu dikarenakan memperhitungkan harga premium yang dipatok oleh pemerintah. Jelasnya, pemerintah memang tidak menyubsidi premium.
Namun, beban subsidi itu beralih ke Pertamina. Beban subsidi ini juga ditanggung PT PLN (Persero) karena harga listrik ditetapkan tidak berubah, sementara PLN harus memasok bahan bakar primer yakni BBM.
"Seolah-olah positif seperti yang disampaikan menteri keuangan, betul, karena sebagian besar digeser ke Pertamina ke PLN. APBN memang positif, yang negatif keuangan Pertamina dan PLN," imbuhnya.
Lalu, beban Pertamina semakin berat karena menjalankan program BBM satu harga. Hal itu ditambah dengan penyaluran kembali premium di Jawa, Madura, Bali (Jamali).
Padahal, harga keekonomian premium berdasarkan hitungannya antara Rp 8.500 hingga Rp 9.000 per liter. Pemerintah mematok harganya di Rp 6.450 per liter.
"Selisihnya yang bayar Pertamina lagi, karena Premium ditetapkan bukan subsidi, tapi penugasan. Artinya, ditugaskan untuk disediakan, tapi tidak diberikan subsidi sehingga badan usaha yang menerima penugasan yang nanggung," katanya.
Kinerja Pertamina yang merosot sebenarnya juga mengurangi penerimaan negara. Karena, setoran dividen ke pemerintah juga menurun.
Menurut Komaidi, cara keluar dari permasalahan ialah penyesuaian harga bahan bakar itu sendiri. Dengan catatan, penyesuaian harga ini dengan kriteria mengurangi beban Pertamina, keuangan negara, tapi beban masyarakat tidak terlalu berat.
Kenaikan harga yang rasional, menurut Komaidi ialah Rp 500 per liter yang berkaca dari kenaikan harga BBM Pertamina non susbidi. Tetapi, penyesuaian hampir tidak mungkin dilakukan karena masuk tahun politik.
"Ini kan tahun politik kalau mau naikkan harga juga sulit sebenernya. Sementara APBN sudah terkunci kalau mau APBN Perubahan relatif sulit karena koordinasi dengan DPR. Pilihannya menjadi sulit, mau nggak mau Pertamina dan PLN dalam tanda kutip dikorbankan," terangnya.