RN - Kekisruhan yang terjadi di internal Partai Demokrat dalam beberapa pekan terakhir ini seolah menjadi sebuah dejavu dari rangkaian konflik politik yang melanda kalangan internal partai politik di Indonesia. Hal itu mengingat fenomena tersebut secara historis merupakan bagian dari peristiwa yang kerap kali mencuat ke permukaan khususnya sejak bergulirnya era Reformasi pada akhir dekade 1990-an.
Dalam hal ini, publik barangkali masih mengingat peristiwa-peristiwa konflik politik yang pernah melanda sejumlah partai politik di Indonesia, sebut saja Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di era kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) serta Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Hanura dan Partai Berkarya di era kepresidenan Joko Widodo (Jokowi) sejak tahun 2014 hingga saat ini.
Untuk itu, hal tersebut setidaknya menunjukkan bahwa pada era kekuasaan Jokowi, partai-partai politik justru seringkali mengalami konflik dalam internalnya. Bahkan, dari sekian konflik politik tersebut kemudian tak jarang justru memunculkan sejumlah partai politik baru yang merupakan sempalan dari partai-partai yang terlibat konflik.
BERITA TERKAIT :Gelar Tasyakuran Di Dapil II Jakarta Utara Bareng Akar Rumput Demokrat, Bunda Neneng Mulai Gaspoll Menangkan Pasangan RK-Suswono
Wow, AHY Klaim Kinerjanya Kinclong Babat Mafia Tanah
Contohnya kemudian dapat dilihat melalui eksistensi beberapa partai politik, seperti Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Berkarya, Partai Gelora, hingga Partai Ummat. Akibatnya, kesan yang muncul seolah menunjukkan bahwa fenomena konflik politik yang kerap melanda internal partai-partai politik Indonesia sejatinya merupakan suatu hal yang biasa.
Adapun secara teoritis, keikutsertaan partai politik dalam sebuah pemilihan umum (pemilu) pada dasarnya memiliki tujuan dan kepentingan yang utama, yakni untuk memperoleh atau merebut kekuasaan. Kemudian dalam rangka mencapai kemenangan pada sebuah kontestasi pemilu, partai politik kemudian cenderung dapat menempuh segala cara dan upaya demi mewujudkan hal tersebut.
Salah satunya adalah melalui penggunaan cara-cara pragmatis yang seringkali justru bersifat kontraproduktif dengan prinsip dan nilai-nilai ideologi kepartaian secara umum. Bahkan, penggunaan cara-cara pragmatis yang dilakukan oleh partai politik dalam realitasnya juga kerap kali menciderai siklus dan proses kaderisasi yang berlaku dimana hal itu salah satunya ditandai dengan adanya kecenderungan yang mendorong partai politik lebih memilih untuk memberikan dukungan kepada figur atau calon yang dianggap populer ketimbang kadernya sendiri.
Pasalnya, hal itu dikarenakan partai politik hanya cenderung berorientasi untuk mencapai kemenangan dan akhirnya dapat memperoleh kekuasaan melalui posisi-posisi atau jabatan politik yang ada. Terlebih dalam konteks yang berlaku di Indonesia secara umum, adanya kecenderungan tersebut justru relatif marak dijumpai dalam tiap partai politik khususnya sejak bergulirnya Reformasi.
Bahkan, adanya kecenderungan untuk lebih memilih figur yang populer ketimbang calon yang merupakan kader dari sebuah partai politik dalam konteks elektoral kemudian mencerminkan bahwa demi memperoleh kemenangan, partai politik tak jarang dapat bersikap pragmatis. Hal itu dikarenakan orientasi partai politik semata-mata hanya ditujukan untuk mendukung figur atau calon yang dianggap memiliki potensi kemenangan yang lebih besar ketimbang calon lainnya.
Untuk itu dalam konteks ini, hal tersebut dapat dijadikan sebagai pijakan untuk menjelaskan kekisruhan yang terjadi dalam internal Partai Demokrat terutama pasca dilaksanakannya Kongres Luar Biasa (KLB) di Deli Serdang, Sumatera Utara beberapa waktu lalu yang kemudian menghasilkan kepengurusan baru di bawah pimpinan Moeldoko sebagai ketua umum yang baru.
Lebih lanjut terkait dengan kisruh yang tengah menimpa Partai Demokrat, penjelasan yang kemudian dapat diberikan dalam konteks ini setidaknya tidaklah jauh berbeda dengan penjelasan-penjelasan yang diajukan untuk merespon peristiwa konflik politik yang dialami oleh partai-partai politik lain sebelumnya.
Pasalnya, jika merujuk pada perspektif dari guru besar Ilmu Politik FISIP UI, Prof. Dr. Maswadi Rauf dalam bukunya yang berjudul “Konsensus dan Konflik Politik: Sebuah Penjajagan Teoritis” kemudian dapat dirumuskan bahwa konflik politik lebih disebabkan oleh tiga jenis faktor. Pertama, akibat adanya hasrat untuk saling memperebutkan jabatan-jabatan politik atau kekuasaan. Kedua, karena kebijakan-kebijakan politik.
Sedangkan, yang ketiga adalah terkait dengan adanya perbedaan dalam memandang lembaga-lembaga politik. Dalam hal ini, adanya hasrat untuk saling memperebutkan jabatan-jabatan politik atau kekuasaan salah satunya kemudian dapat dicerminkan dari adanya benturan kepentingan dalam masing-masing faksi yang ada di internal Partai Demokrat.
Hal ini sebagaimana telah menjadi rahasia umum dari Partai Demokrat yang sedari lama diduga terdiri atas kelompok-kelompok atau faksi tertentu, seperti faksi pendiri yang diketuai oleh Subur Budi Santoso selaku ketua umum pertama Partai Demokrat, faksi pendukung Hadi Utomo selaku ketua umum kedua yang terpilih dalam kongres di Bali tahun 2005, faksi pendukung Anas Urbaningrum yang terpilih sebagai ketua umum kedua dalam kongres tahun 2010 di Bandung serta faksi yang pro kepada Marzuki Alie yang tercatat sebagai eks Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrat periode 2005-2010 dan ketua DPR-RI periode 2009-2014.
Lebih lanjut dalam realitasnya, faksi-faksi tersebut kerap terlibat dalam sebuah konfrontasi baik secara terbuka maupun tertutup mengenai arah kebijakan partai baik sebelum mega skandal kasus-kasus korupsi yang menjerat sejumlah kader ternama Partai Demokrat terungkap ke publik maupun setelahnya. Apalagi setelah Partai Demokrat berada di luar pemerintahan, hal tersebut kemudian kerap kali menjadi diskursus yang akhirnya memunculkan benih-benih konflik di antara faksi-faksi yang ada tersebut.
Pasalnya, dinamika yang mencuat ke permukaan kemudian seringkali menunjukkan adanya rivalitas yang sangat kuat antar faksi-faksi tersebut dalam memperebutkan pengaruh dan kendali atas partai Demokrat. Meskipun demikian, hal tersebut nyatanya mampu direduksi dengan baik berkat peran dan dominasi SBY yang sejak awal menjadi sosok sentral di Partai Demokrat, sehingga potensi perpecahan pun akhirnya dapat teratasi.
Akan tetapi, sejak dilakukannya suksesi kepemimpinan di internal Partai Demokrat dengan dipilihnya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai pucuk pimpinan partai yang baru, hal itu nyatanya justru memunculkan benih-benih baru konflik akibat adanya rasa ketidakpuasan dari sejumlah faksi yang ada tersebut. Pasalnya, hal itu tidak dapat dipisahkan dari mulai meredupnya eksistensi faksi-faksi tersebut akibat tidak diberikan posisi dan ruang yang lebih di dalam struktur kepengurusan partai karena secara garis besar lebih banyak didominasi oleh sosok-sosok baru.
Bahkan, hal itu turut diiringi dengan adanya kekecewaan dari faksi-faksi tersebut dalam melihat pencapaian elektoral Partai Demokrat pasca pemilu 2019 mengingat eks partai penguasa tersebut sudah dua kali gagal memenangkan pileg dan pilpres. Alhasil, hal inilah yang mencerminkan bahwa konflik politik yang muncul di internal Partai Demokrat adalah disebabkan oleh adanya kebijakan-kebijakan politik yang dalam hal ini dianggap kurang akomodatif terhadap kelompok faksi-faksi yang ada, terlebih sejak dilakukannya regenerasi kepemimpinan partai pasca terpilihnya AHY sebagai ketua umum yang baru.
Sedangkan terkait dengan adanya perbedaan dalam memandang lembaga-lembaga politik, hal ini setidaknya dapat merujuk dari adanya diskursus di antara faksi-faksi tersebut mengenai masa depan Partai Demokrat khususnya dalam menghadapi pemilu serentak tahun 2024.
Apalagi jika melihat posisi Partai Demokrat saat ini yang masih berada di luar pemerintahan, hal yang terjadi justru kerap kali memunculkan kekhawatiran di kalangan faksi-faksi tersebut karena merasa bahwa performa partai menjadi kian tergerus. Bahkan, hal itu juga diiringi dengan masih rendahnya tingkat elektabilitas AHY yang sedari awal telah digadang-gadang untuk menjadi calon pemimpin masa depan.
Untuk itu, faksi-faksi yang ada tersebut kemudian terdorong untuk melakukan sejumlah manuver politik demi merealisasikan hal-hal yang menjadi pandangannya terhadap lembaga-lembaga politik. Salah satunya kemudian diwujudkan dengan mewacanakan penggantian posisi ketua umum partai serta menominasikan sosok baru yang dianggap lebih mampu membantu mereka dalam mewujudkan kepentingannya.
Hingga akhirnya, pilihan kemudian dijatuhkan kepada sosok Moeldoko yang saat ini menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan dan sekaligus merupakan eks Panglima TNI di era kepemimpinan SBY saat masih menjabat sebagai presiden. Dengan status tersebut, faksi-faksi itu kemudian menganggap bahwa Moeldoko merupakan sebuah opsi yang realistis untuk dapat dicalonkan menjadi calon presiden pada pemilu presiden tahun 2024 mendatang dengan harapan dapat membantu mengembalikan kejayaan Partai Demokrat seperti yang pernah diraih saat mengantarkan SBY menjadi presiden serta menjadi partai penguasa selama dua periode.
Alhasil, hal-hal tersebut yang disadari ataupun tidak kemudian telah menciptakan celah-celah bagi masuknya pihak-pihak eksternal yang oportunis dan pragmatis sehingga akhirnya turut mengakibatkan kondisi Partai Demokrat menjadi terbelah seperti saat ini.