Jumat,  29 March 2024

Mau Cegah Korupsi, KPK Bisa Baca Disertasi Fahmi Idris 

NS/RN/NET
Mau Cegah Korupsi, KPK Bisa Baca Disertasi Fahmi Idris 
Fahmi Idris (tengah) bersama istri dan putrinya, anggota DPD RI Fahira Idris.

RN - Fahmi Idris memang luar biasa. Dia mampu meraih gelar doktor Ilmu Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (UI) diera pendemi.

Disertasi milik politisi senior Partai Golkar itu berjudul “Korupsi Pada Masyarakat yang Menjunjung Tinggi Keadilan Sosial: Refleksi Kritis Berbasis Kontraktualisme Rawls”.

Dalam penelitian disertasinya, mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Mantan Menteri Perindustrian ini menyatakan bahwa korupsi dalam masyarakat muncul dari sifat bidimensionalitas manusia yang merupakan makhluk individu sekaligus makhluk sosial guna mempertahankan hidupnya. 

BERITA TERKAIT :
Caleg Terpilih Wajib Lapor LHKPN, Yang Bikin Laporan Palsu Bisa Ditindak 
Warning KPK Untuk Pejabat, BUMN & BUMD, Yang Terima Bingkisan Lebaran Bisa Dipenjara

Setelah menjalani ujian promosi doktor, Fahmi Idris pun dinyatakan lulus dengan predikat cum laude dengan nilai rata-rata 87,5. 

Fahmi Idris mengungkapkan, fenomena korupsi di dalam suatu negara yang menganut asas keadilan sosial karena korupsi tertanam dalam karakteristik masyarakat yang tinggal di negara tersebut sebagai respon adaptif terhadap upaya bertahan hidup. Asas keadilan sosial juga dianut sebagai turunan dari karakteristik masyarakatnya.

Menurut Fahmi Idris, fenomena korupsi dapat dicegah dengan menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan refleksi dialogis dan pendekatan kultural. Pendekatan refleksi dialogis merupakan respon adaptif individual terhadap upaya bertahan hidup dan bersifat universal sehingga terdapat pada semua warga negara yang memiliki kapasitas berpikir yang cukup ditandai dengan kedewasaan dan kesehatan psikologis.

Sementara pendekatan kultural dengan memanfaatkan karakteristik masyarakat yang pada gilirannya juga merupakan respons adaptif masyarakat secara kolektif terhadap upaya bertahan hidup. Pendekatan kultural ini bersifat partikular, otomatis dan mudah dijalankan.

Kedua pendekatan ini dapat diterapkan pada tatanan moral karena menggunakan agen-agen pembentuk moral masyarakat yaitu tokoh-tokoh agama sebagai salah satu deliberator yang memanfaatkan karakteristik masyarakat Indonesia yang religius. Namun, agen-agen deliberator yang menggunakan pendekatan refleksi dialogis sulit untuk mengubah tatanan moral masyarakat karena rasionalitas bukanlah komponen dari karakteristik masyarakat Indonesia.

"Walaupun begitu, deliberator dengan pendekatan refleksi dialogis dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi pemberantasan korupsi lewat instrumen rasional seperti hukum atau infrastruktur pemberantasan korupsi yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan masyarakat dengan dimotivasi oleh ajaran agama,” ujar Fahmi Idris yang juga senior dari HMI ini.

Bagi mantan Menteri Perindustrian 2005-2009 ini, moralitas adalah bagian sangat penting dalam upaya pencegahan korupsi. Menurutnya, moralitas harus benar-benar menghakimi perilaku politik. 

Sama seperti moralitas, perilaku politik juga bentuk respons manusia terhadap usaha bertahan hidup yang dibentuk oleh budaya dan juga refleksi dialogis manusia sehingga apapun unsur turunan dari kedua respon adaptif ini harus saling mendukung. Moralitas membentuk aturan-aturan yang perlu dipatuhi manusia untuk bertahan hidup secara kolektif.

Sementara politik, adalah usaha-usaha individual untuk bertahan hidup. Politik dapat mengorbankan masyarakat dan moralitas dapat mengorbankan individual.

Jika masyarakat ingin bertahan hidup maka politik harus menjadi nomor dua dan karenanya moralitaslah yang harus menghakimi politik. Sebaliknya, jika individu ingin bertahan hidup maka moralitaslah yang menjadi nomor dua dan politik menghakimi moralitas. Masyarakat dapat bertahan hidup jika kehilangan beberapa individual di dalamnya. Sementara individual tidak dapat bertahan hidup lama jika kehilangan masyarakat. Karenanya, masyarakat harus diutamakan daripada individual. Artinya moralitas menjadi lebih utama dari politik. "Moralitaslah yang menghakimi politik,” jelasnya.

Dalam disertasinya, Fahmi Idris menekankan perlunya dipertimbangkan sanksi moral dan sanksi hukum dalam mengambil keputusan terhadap pelaku korupsi. Sanksi moral yang dibangun oleh agama dan refleksi dialogis perlu didukung oleh hukum serta hukum yang ada perlu didukung oleh sanksi moral dari masyarakat.

Sanksi moral yang diberikan masyarakat misalnya ekspresi kemarahan, kemarahan verbal, menyalahkan, memberi kecaman, ketidaksetujuan, teguran, kritik moral pemaparan, boikot, penghindaran, bahkan kebencian yang didukung oleh hukum akan memberikan umpan balik negatif pada individu yang berniat korupsi sehingga menghasilkan sistem integritas yang baik untuk mencegah korupsi dan meningkatkan kesejahteraan sosial dan kelangsungan hidup masyarakat.

Fahmi Idris mencontohkan instrumen hukum misalnya pasal pencemaran nama baik (pasal 310 KUHP) perlu dipertegas sehingga ayat 3 yang berbunyi ‘tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri’ mencakup korupsi sebagai bentuk kepentingan umum.

Pada sistem integritas ini, seiring waktu akan tercipta sanksi moral yang diberikan pada diri sendiri yang memungkinkan kesadaran individual mengenai betapa buruknya korupsi. Jika nilai-nilai religius antikorupsi telah mampu terinternalisasi, setiap bias kognitif untuk melakukan perbuatan korupsi dapat disanggah oleh rasa bersalah dan penyesalan sebagai wujud sanksi moral pada diri sendiri.

Temuan penting dari penelitian ini adalah pemberantasan korupsi akan membuahkan hasil jika aspek-aspek karakteristik masyarakat Indonesia yang bidimensional dibidik secara menyeluruh. Aspek-aspek ini mulai dari aspek individual, sosial-kultural hingga aspek moral. Aspek individual mengandung komponen kognitif yang mencegah korupsi menggunakan refleksi dialogis. Aspek sosio-kultural mencegah korupsi menggunakan pendekatan agama yang disangkutpautkan dengan keadilan sosial.

"Aspek moral, mencegah korupsi menggunakan pendekatan sanksi moral baik kognitif maupun afektif,” pungkas peraih Bintang Mahaputra Adipradana ini.

Fahmi Idris adalah seorang pengusaha dan politikus. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja dalam Kabinet Reformasi Pembangunan. Serta Menteri Perindustrian dan Menteri Tenaga Kerja & Transmigrasi pada Kabinet Indonesia Bersatu.

Fahmi juga pernah terpilih menjadi anggota DPR-GR mewakili kalangan mahasiswa, serta ketua Fraksi Golkar di MPR-RI. Mulai Februari 2017 Fahmi Idris menjadi Dewan Penasehat Ormas dan LBH Bang Japar (Kebangkitan Jawara dan Pengacara) di mana yang menjadi Ketua Umumnya adalah Fahira Fahmi Idris