Sabtu,  23 November 2024

"Perang Dagang" AS-China Pengaruhi Kinerja Ekspor RI

Agus Supriyanto

RADAR NONSTOP-Ternyata, "perang dagang" antara AS dan China ikut mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia. Faktor ini ikut mendorong sejumlah negara tujuan ekspor, seperti India menerapkan proteksionisme berlebihan.

Yakni, berupa pengenaan bea masuk di atas 50 persen untuk produk CPO asal Indonesia. “Jika digabung, total porsi dari ketiga negara itu, 34 persen dari total ekspor nonmigas. Padahal, ekspor CPO berkontribusi 15 persen dari total ekspor nonmigas,” ujar pengamat ekonomi Indef, Bhima Yudhistira Adinegara dalam diskusi Potensi Ekspor di Tengah Pelemahan Rupiah yang digelar Forum Warta Pena di Puri Denpasar Hotel, Jakarta Selatan, Rabu lalu (7/11/2018).

Bhima menyebut ada beberapa solusi bagi pemerintah agar dapat meningkatkan nilai ekspor di tengah persoalan global dan trend melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Yakni, dengan memberikan relaksasi setiap pungutan, khususnya ekspor CPO yang bisa diturunkan menjadi US$ 15-20 per ton dan memperluas pasar baru seperti Afrika Tengah, Eropa Timur, dan Rusia. “Bagi kendala logistik, pemerintah bisa memberikan keringanan pajak (tax holiday) untuk forwarder atau jasa ekspor dari Indonesia ke Afrika, misalnya,” papar Bhima.

BERITA TERKAIT :
Anak Singkong: Perang Dagang China dan AS Serius, Seperti Perang Dunia ke-III Tanpa Nuklir

Sejauh ini, pemerintah memang sudah banyak memberikan insentif berupa tax holiday dan tax allowances. Tapi sayangnya, insentif yang diberikan terlalu umum tidak menyasar kebutuhan sektoral yang spesifik. “Problem lain ada pada proses perizinan dan insentif fiskal yang belum terintegrasi, serta lamanya pengurusan pajak bagi para pelaku usaha termasuk eksportir,” tandas Bhima.

Lalu, problem lainnya lagi, kata dia, adalah belum terintegrasinya masing-masing kementerian dalam pemberian kemudahan bagi para eksportir. “Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Perindustrian hingga saat ini masih mempertahankan ego-sektoral masing-masing. Yang satu menilai jika diberikan insentif fiskal terlalu besar nantinya target penerimaan pajak jangka pendek berkurang. Jadi disini saja mereka belum sepakat,” ucap Bhima.

Terkait masalah pajak, Bhima mengatakan, peringkat kemudahan membayar pajak dalam EODB Indonesia berada diperingkat 112 di bawah Malaysia 72 dan Thailand 59. Hal itu tergambar secara gamblang bahwa para pelaku usaha eksportir membutuhkan 200 jam untuk mengisi formulir restitusi perpajakan. “Ini yang membuat minat eksportir dan pelaku usaha mengambil insentif fiskal akhirnya berkurang. Jadi prosedurnya juga perlu perbaikan,” katanya.

Berdasarkan data BPS secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari-September 2018 mencapai US$ 134,99 Miliar atau meningkat 9,41 persen dibanding periode yang sama tahun 2017. Sedangkan, ekspor nonmigas mencapai US$122,31 miliar atau meningkat 9,29 persen.

Bhima memperkirakan ekspor tahun depan bisa mencapai 9,5%-10% year on year dimana eskpor tekstil pakaian jadi ke AS yang masih solid (Jan-Sept 2018 tumbuh 29,8%), serta terbukanya penjualan produk ke luar negeri, seperti kulit, besi baja, barang dari kulit, ekspor makanan minuman dan pengolahan tembakau. Di tempat yang sama, Ketua Komite Tetap Pengembangan Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Handito Hadi Joewono mengatakan, salah satu upaya untuk mendorong nilai ekspor dengan memasuki pasar baru ekspor.

"Ekspor ini bisa dilakukan perusahaan besar maupun UKM. Buat industri atau perusahaan besar sangat bermanfaat diberikan insentif pajak termasuk tax holiday. Sementara untuk perusahaan kecil dan UKM yang dibutuhkan adalah dorongan untuk memulai ekspor dan mengefektifkan fasilitas pembayaran ekspor," ucap Handito.

Namun sayangnya, hingga saat ini kebijakan pemerintah untuk mendorong ekspor belum terintegrasi dengan baik. Hal itu setidaknya terlihat dari belum terwujudnya kesatuan pandang antar sektor. "Semestinya Kemenko Perekonomian perlu lebih 'galak' mengkoordinasikan pihak-pihak terkait ekspor," ujarnya.

Berbagai cara juga perlu dilakukan pemerintah agar pasar ekspor bisa tumbuh, salah satunya dengan peningkatan daya beli masyarakat. “Upaya menggairahkan dunia usaha berarti mendorong pertambahan omset penjualan dengan peningkatan daya beli masyarakat untuk produk yang dijual di dalam negeri,” kata Handito.

Sementara, Ketua Bidang Komunikasi GAPKI Tofan Mahdi optimis tahun ini produksi minyak sawit diperkirakan mencapai 42 juta ton, yakni 31 juta ton di antaranya terserap di pasar ekspor. Namun, diakuinya munculnya kampanye negatif dari negara produsen minyak nabati menjadi salah satu kendala ekspor bagi produsen dalam negeri. Oleh karenanya, Tofan berharap industri sawit nasional perlu terus meningkatkan daya saing yang kompetitif dengan industri hilir Malaysia.