Jumat,  22 November 2024

Normalisasi LGBT?

Tori
Normalisasi LGBT?

SETIAP ada upaya menghadirkan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transjender), masyarakat teriak. Semua sepakat: itu haram. Kecuali segelintir orang yang terdiri dari tiga kelompok.

Pertama, kelompok pelaku. Kedua, kelompok yang mengatasnamakan kebebasan dan HAM. Ketiga, kelompok yang ingin mengakomodir manusia berkebutuhan khusus. LGBT dianggap sebagai orang-orang yang berkebutuhan khusus.

Para pelaku, tentu mereka berjuang agar pasangan LGBT diterima masyarakat dan dilegalkan. Mereka ingin mendapatkan legalitas undang-undang dan diterima secara sosial. Mereka saling dukung satu dengan yang lain. Tidak saja di tingkat nasional, tapi solidaritas sosial mereka mengglobal. 

BERITA TERKAIT :
Setelah Acara LGBT Di Kota Bekasi Gaduh, JP Club Minta Maaf 
Konser Coldplay Di Senayan Diancam, Banyak Yang Nolak LGBT & Seks Bebas

Dengan menggunakan segala saluran, baik institusional (termasuk lembaga-lembaga internasional) maupun kekuatan dana, mereka berupaya mendorong dilegalkannya LGBT di semua negara. 

Di antara para pelaku LBBT telah menempati posisi-posisi penting baik di lembaga-lembaga pemerintahan maupun di lembaga-lembaga internasional. Bahkan ada yang menempati posisi sebagai kepala negara. Banyak juga yang jadi pengusaha sukses.

Di Indonesia, LGBT itu ilegal. Kehadirannya selalu mendapat protes keras dari masyarakat. Kenapa tidak diterima? Pertama, perkawinan sejenis adalah perkawinan yang tidak logis. Laki kawin sama laki, perempuan kawin sama perempuan. Jeruk makan jeruk.

Lelaki-perempuan secara psikologis, biologis, ekonomi dan sosial adalah dua jenis yang berbeda, punya kekurangan satu sama lain, dan dipasangkan untuk saling melengkapi. 

Lelaki itu maskulin, wanita itu dominan kelembutannya. Laki itu kuat rasionalitasnya, wanita kuat perasaan dan kasih sayangnya. Secara biologis, laki itu membuahi, wanita dibuahi, sehingga ada produktifitas. Dari sini lahir keturunan sebagai proses regenerasi dan evolusi manusia. Sejarah berlanjut karena pasangan itu punya keturunan. Dan lahirnya keturunan ini tidak mungkin bisa terjadi pada pasangan sejenis.

Seandainya orang tua mereka penganut LGBT, maka mereka tidak akan pernah lahir. Artinya, mereka yang memilih perkawinan sejenis tidak memiliki tanggung jawab untuk menjaga keberlanjutan sejarah umat manusia. Mereka adalah kelompok manusia yang tidak memiliki tanggung jawab historisnya.

Secara ekonomi, lelali menafkahi wanita. Keterbatasan fisik wanita dengan masa kehamilan dan melahirkan butuh sosok suami yang secara ekonomi menjamin nafkahnya. Meski tidak sedikit wanita yang bekerja . Tapi, itu bukan fitrah kodratnya. Mereka melakukannya untuk aktualisasi diri, untuk sebuah pengabdian, dan sebagian karena faktor terpaksa disebabkan diantaranya tidak ada yang menafkahi.

Lelaki berpasangan dengan wanita, itu pasangan normal. Pasangan natural. Satu sama lain saling mengisi dan melengkapi kekurangan masing-masing. Secara psikologis, biologis, sosial dan ekonomi saling menyempurnakan.

Sebaliknya, laki dengan laki, wanita dengan wanita, itu tidak normal. Pasangan yang tidak bisa saling mengisi atas kelebihan dan kekurangan kodrati dari masing-masing pihak. Tidak akan punya keturunan, rawan konflik fisik jika pasangannya sesama laki. Dan sama-sama baper jika pasangan mereka sesama wanita. Aneh jika mereka bergandengan di depan publik. 

Secara ekonomi, siapa yang bertanggung jawab memberi nafkah, sehingga lebih superior dan menjadi leader dalam rumah tangga. Ini juga berpotensi jadi masalah. Sulit membayangkan pasangan LGBT bisa langgeng. Karena itu, agama dan logika normal menolaknya.

Terjadinya pasangan LGBT umumnya ada histori yang tidak normal. Ini bisa ditelusuri dari para pelaku LGBT. Pertama, boleh jadi karena faktor trauma dengan lawan jenis. Cinta tertolak, kemudian hilang rasa dengan lawan jenis. Ini banyak tejadi. Kemarahan kepada "oknum" lawan jenis dilampiaskan dengan mencintai sesama. Boleh jadi juga karena trauma kekerasan seksual di masa lalunya.

Kedua, faktor bosan. Sex bebas yang dialami oleh sekelompok masyarakat membuat mereka tak lagi memiliki hasrat kepada lawan jenis. Lalu, mereka mencari sensasi baru dengan menikmatinya bersama kawan sejenis.

Ketiga, karena sejak kecil hanya bergaul dengan lain jenis, dan nyaris tidak punya relasi dengan komunitas sejenis. Pergaulan dengan lawan jenis yang terlalu lama bisa mengakibatkan hilangnya hasrat kepada lawan jenis tersebut. Lelaki mulai melambai. Yang wanita mulai maco. Ini akibat pergaulan yang dominan di lingkungan lawan jenis.

Keempat, boleh jadi karena mereka hidup terlalu lama hanya dengan sesama jenis. Mereka tidak punya kesempatan menaruh hasrat kepada lawan jenis. Kehidupan di satu asrama yang ekseklusif dan dibatasi pergaulannya dengan lawan jenis, ini bisa menimbulkan hasrat kepada sesama jenis. Tapi biasanya, hasrat ini hilang ketika kesempatan bertemu dengan lawan jenis telah dibuka.

Faktor kelainan histori ini diduga menjadi penyebab yang dominan LGBT lahir. Jadi, tidak ada unsur genetik yang diklaim adanya kromosom X atau gen Xq28 menjadi faktor kecenderungan LGBT. Itu hasil penelitian yang telah banyak dikoreksi oleh hasil penelitian berikutnya.

Karena itu, tidak ada aturan di negeri ini yang memberi celah untuk pasangan LGBT. Sebagaimana pernikahan beda agama, perkawinan model LGBT juga memiliki dampak negatif. Bahkan destruktifnya sangat besar. Termasuk aneka penyakit kelamin akibat LGBT. Karena itu, perkawinan LGBT dilarang, alias diharamkan di kaya sumber alam (SDA) ini yang memiliki jumlah penduduk mayoritas yang masih waras.

Soal LGBT, ini bukan pro kontra. Tapi ini bagian dari tanggung jawab sosial bagimana mereka yang punya histori normal dan diberikan kewarasan mau menyadarkan saudara-saudaranya yang menganggap dirinya memiliki kebutuhan khusus tersebut. 

Meski mereka oleh _American Psychiatric Assosiation_ tidak dianggap sebagai orang-orang yang punya kelainan mental, tapi mereka butuh teman dan pendamping yang bisa memberikan pengertian. Bukan malah mendukung keadaannya atas nama kebebasan dan HAM. Sebab pada umumnya, mereka juga tidak ingin seperti itu. Sebaliknya, mereka ingin normal seperti umumnya orang.

 

Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa