RN - Kasus kebocoran data terulang lagi. Teranyar, ada 105 juta data pemilih yang bocor
Dalam keterangannya hari ini, pakar keamanan siber Pratama Persadha menjelaskan bahwa kebocoran tersebut diunggah hari Selasa (6/9/2022) oleh anggota forum situs breached.to dengan nama identitas 'Bjorka'. Dia ini yang juga membocorkan data riwayat browsing pelanggan Indihome dan 1,3 miliar data registrasi sim card.
Kali ini Bjorka membocorkan 105 juta data pemilih dengan memberikan sampel sejumlah 1.048.576 data pemilih dari
berbagai provinsi dalam file exel sebesar 75 MB saja.
Calon Wakil Bupati Tangerang Jadi Ledekan Mendagri, Irvansyah Gak Paham Inflasi Mau Jadi Kepala Daerah
Cerita Waket DPRD Tapteng Yang Bajunya Ditarik Sampai Terbuka, Masinton Dilaporkan Kasus Pelecehan
"Data yang diunggah yaitu provinsi, kota, kecamatan, kelurahan, TPS, NIK-KK, nama, tempat lahir, tanggal lahir, usia, jenis kelamin dan alamat. Data berjumlah 105.003.428 ini dijual dengan harga 5.000 dolar AS dalam file sebesar 4GB saja bila dalam keadaan dikompres," beber chairman lembaga riset siber CISSReC (Communication & Information System Security Research Center ini.
Data tersebut bisa dicek validitasnya, misalnya dengan data lain hasil kebocoran data seperti 91 juta data Tokopedia yang bocor pada awal 2020 atau data bocor registrasi sim card.
Bjorka sendiri juga membuka akses telegram grup bagi siapapun yang ingin menguji validitas data yang dijualnya. Anggota grup bahkan bisa request dengan nama maupun NIK dan Bjorka akan memberikan datanya secara spesifik lengkap.
"Ada beberapa institusi yang memiliki data ini, yaitu KPU, Dukcapil, Bawaslu, bisa jadi juga partai politik dan lembaga lain, KPU lebih tahu soal ini. Sepertinya perlu diaudit satu per satu agar tahu di mana kebocorannya." imbuhnya.
Pratama menggarisbawahi hal ini penting diinvestigasi mengingat saat ini sudah hangat situasi politik tanah air. Jangan sampai data pemilih bocor ini menjadi hal yang kontraproduktif pada proses penyelenggaraan pemilu.
"Ada hal mengganjal soal jumlah data 105 juta, padahal total pemilih 2019 saja sudah 192 juta. Artinya ada 87 juta lebih data yang belum ada. Saya sudah coba mengkonfirmasi ke Bjorke namun belum mendapat jawaban,” ujarnya.
Menurut dia, bocornya data pemilih akan mengalihkan perhatian masyararakat ke KPU. "KPU tinggal lakukan pengecekan apakah ada anomaly traffic, bila tidak ada maka terbuka kemungkinan terjadi insider threat attack," jelas dia.
Di Uni Eropa, tambah Pratama, denda bisa mencapai 20 juta Euro untuk setiap kasus penyalahgunaan dan kebocoran data pribadi masyarakat. Oleh karenanya, BSSN juga harus masuk lebih dalam pada berbagai kasus kebocoran data di tanah air. "Minimal menjelaskan ke publik bagaimana dan apa saja yang dilakukan berbagai lembaga publik yang mengalami kebocoran data akibat peretasan," kata Pratama.
Dengan kondisi di Indonesia yang belum ada UU Perlindungan Data Pribadi (PDP), sehingga tidak ada upaya memaksa dari negara kepada penyelenggara sistem elektronik (PSE) untuk bisa mengamankan data dan sistem yang mereka kelola dengan maksimal atau dengan standar tertentu. Akibatnya banyak terjadi kebocoran data,.
"Semua merasa menjadi korban. Padahal soal ancaman peretasan ini sudah diketahui luas, seharusnya PSE melakukan pengamanan maksimal, misalnya dengan menggunakan enkripsi/penyandian untuk data pribadi masyarakat," tuturnya.
Jika bicara soal sanksi kebocoran data, Pratama menyarankan sementara ini yang bisa dipakai Permenkominfo nomor 20 tahun 2016. Adapun sanksi dalam permen tersebut hanya administrasi diumumkan ke publik, yang paling tinggi dihentikan operasionalnya sementara.
Selain itu, dalam Pasal 100 ayat (2) PP 71/2019 tentang PSTE (Penyelenggara Sistem Transaksi Elektronik), terdapat pemberian sanksi administrasi atas beberapa pelanggaran perlindungan data pribadi yang dapat berupa teguran tertulis, denda administratif, penghentian sementara, pemutusan akses dan dikeluarkan dari daftar.