Rabu,  02 April 2025

Pusat Data Nasional (PDNS) Rp 959,4 Miliar Terendus Korupsi?

RN/NS
Pusat Data Nasional (PDNS) Rp 959,4 Miliar Terendus Korupsi?
Ilustrasi

RN - Ada udang di balik batu. Disaat gaduh soal pusat data nasional ternyata pengadaan alat dan sistemnya terindikasi korupsi.

Penyerangan ransomware yang terjadi di Indonesia pada Juni 2024 lalu berujung pada penyidikan dugaan korupsi. Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat (Kejari Jakpus) mengumumkan status penyidikan terkait dalam pengadaan barang dan jasa serta pengelolaan Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) senilai Rp 959,4 miliar di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) periode 2020-2024.

Kepala Kejari Jakpus Safrianto Zuriat Putra saat dihubungi mengatakan, penyidikan tersebut dimulai sejak Kamis (13/3/2025) melalui penerbitan Surat Perintah Penyidikan Print-488/M.1.10/Fd.1/03/2025.

BERITA TERKAIT :
Ditanya Korupsi Pusat Data Nasional, Menteri Budi Arie Mendadak Tutup Mulut

“Penyidikan sudah dimulai. Dan jaksa penyidik pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat sudah melakukan proses pencarian bukti-bukti tindak pidana terkait dengan perkara yang dimaksud,” begitu kata Safrianto saat dihubungi di Jakarta, Jumat (14/3/2025).

Dalam pernyataan resmi Kejari Jakpus, melalui Kepala Seksi Intelijen Kejari Jakpus, Bani Immanuel Ginting menerangkan, kasus ini terkait dengan penggunaan anggaran Rp 958 miliar untuk pengadaan barang dan jasa serta pengelolaan PDNS di Kemenkominfo pada tahun pelaksanaan 2020. 

Kata Bani, dalam realisasi pengadaan barang tersebut diduga terjadi praktik tindak pidana korupsi berupa adanya pengondisian dalam pemenangan PT AL sebagai kontraktor swasta pelaksana PDNS.

“Dalam pelaksanaannya, terdapat pejabat-pejabat dari Komunfo bersama-sama dengan perusahaan swasta melakukan pengkondisian untuk memenangkan PT AL,” ujar Bani dalam siaran pers yang diterima, Jumat (14/3/2025).

Kata dia, dalam periode pertama kontrak PT AL senilai Rp 60,37 miliar yang diperoleh melalui pengondisian untuk menang tender. Selanjutnya pada 2021, PT AL mendapatkan kontrak dengan proyek yang sama senilai Rp 102,67 miliar. Pada 2022, juga PT AL yang mendapatkan nilai kontrak Rp 188,9 miliar.

“Terjadi pengondisian kembali antara pejabat di Kominfo dengan perusahaan swasta tersebut (PT AL) dengan cara menghilangkan persyaratan tertentu sehingga perusahaan tersebut dapat terpilih sebagai pelaksana kegiatan (pengadaan barang dan jasa, serta pengelolaan PDNS) dengan nilai kontrak Rp 188,9 miliar,” ujar Bani.

Selanjutnya pada periode 2023 dan 2024, PT AL kembali memenangkan kontrak tender pengerjaan komputasi awan senilai Rp 350,9 miliar untuk 2023 dan Rp 256,5 miliar untuk 2024. Namun dalam kegiatan tersebut, PT AL bermitra dengan pihak yang dikatakan penyidik kejaksaan, tidak mampu memenuhi persyaratan pengakuan kepatuhan ISO 22301.

“Akibat dari tidak dimasukkannya pertimbangan kelaikan dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sebagai syarat penawaran, sehingga pada Juni 2024 terjadi serangan ransomware yang mengakibatkan beberapa layanan tidak layak pakai, dan tereksposenya data diri penduduk Indonesia,” begitu kata Bani.

Padahal, menurut kejaksaan, seluruh anggaran dalam pelaksanaan pengadaan PDNS tersebut sudah menghabiskan dana Rp 959,4 miliar. “Tetapi dalam pelaksanaannya pengadaan PDSN tersebut tidak sesuai dengan aturan,” ujar Bani.

Kejaksaan pun mengacu ketidaksesuaian aturan tersebut mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) 95/2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik yang hanya mewajibkan pemerintah untuk membangun Pusat Data Nasional (PDN) dan bukan PDNS. “Serta tidak dilindunginya keseluruhan data sesuai dengan BSSN,” ujar Bani.

Dari penyidikan sementara, kata Bani, Kejari Jakpus meyakini adanya dugaan kerugian negara mencapai ratusan miliar terkait dengan pengadaan PDNS di Kemenkominfo 2020-2024 tersebut.