RN - Setelah berjalan satu bulan lamanya, Musim Seni Salihara menutup tirainya melalui pementasan wayang kontemporer oleh kurator dan perupa asal Bandung, Herry Dim pada 4 September lalu.
Melalui pertunjukan Let’s Save the Earth!, Herry Dim dan kelompok Wayang Motekar mempersembahkan perpaduan antara pertunjukan wayang konvensional dengan pemanfaatan teknologi digital berupa pemetaan video (video mapping).
BERITA TERKAIT :Bank DKI Jadi Tuan Rumah PORSENI BUMD DKI 2024
Digebuki Senior Di Toilet, Taruna STIP Marunda Tewas Hingga Jaringan Paru Pecah
Wayang Motekar sendiri merupakan sebuah karya rupa yang terbuat dari potongan plastik berwarna. Digagas pertama kali oleh Herry pada tahun 1991-1993 dan merupakan karya yang interaktif dan menarik di kalangan anak-anak; di mana di era tersebut mereka menggunakan medium OHP (Over Head Projector) untuk memantulkan dan menciptakan siluet yang berwarna-warni. Kebanyakan cerita-cerita Wayang Motekar yang dimainkan juga akrab terhadap dunia anak dan dimunculkan dengan tokoh-tokoh karikatur yang banyak menggambarkan sosok binatang.
Pada tajuk Let’s Save the Earth! dengan dalang Opick Sunandar Sunarya bercerita tentang kerusakan alam dan pentingnya merawat kelestarian bumi. Sebuah karya dengan wacana yang mudah dicerna namun selalu penting untuk dibahas berpuluh-puluh tahun ke depan.
“Masalah ancaman lingkungan hidup yang rusak sesungguhnya telah banyak diungkap berita ataupun uraian teks informatif lainnya. Tapi itu semua akan lain jika diungkap dengan seni, khususnya Wayang Motekar yang berlandas pada seni gambar,” jelas Herry Dim terkait pesan apa yang ingin diangkat dalam pertunjukan di Teater Salihara kemarin.
Tidak hanya mengandalkan kekuatan pesan dan proyeksi dari pemetaan video, pertunjukan Let’s Save the Earth! juga mengadaptasi berbagai unsur kesenian lain seperti instrumen band yang dimainkan secara langsung untuk membangun suasana dan adegan teatrikal yang menampilkan siluet gerakan tari oleh Ine Arini.
Sebagai acara puncak, pertunjukan Let’s Save the Earth! berhasil menarik 223 penonton dan menjadi salah satu pertunjukan yang berhasil menarik lebih dari 200 penonton dalam dua hari pementasan. Respons baik ini juga disambut oleh para penikmat baru Komunitas Salihara yang baru pertama kali merasakan pengalaman menonton pertunjukan seni secara luring.
Ardhi (23), mahasiswa asal Pasar Minggu mengungkapkan pengalaman pertamanya yang membuat ia puas pada pertunjukan dan pameran yang dipersembahkan oleh Komunitas Salihara.
“Pertunjukkan ini membuat saya terkesima. Hal ini didasari oleh cara penyajian yang diberikan sangat memanjakan mata dan telinga. Visual, musik, cahaya, dan bunyi yang disuguhkan membuat durasi 45 menit terasa sebentar,” ucapnya.
Seperti Ardhi, melalui survei yang dibagikan kepada seluruh penonton pertunjukan, pengunjung lainnya pun berharap agar Salihara tetap hadir secara konsisten membawakan karya-karya yang menawarkan konsep kebaharuan di Jakarta.