Jumat,  26 April 2024

JPHPKKS: Pengakuan Putri di Malang Bisa Jadi Obstruction of Justice Jilid II

Tori
JPHPKKS: Pengakuan Putri di Malang Bisa Jadi Obstruction of Justice Jilid II
Putri Candrawati dan suaminya, Ferdy Sambo menjalani rekonstruksi di TKP Duren Tiga, Jakarta Selatan/Ist

RN - Isu kekerasan seksual terhadap istri Irjen Ferdy Sambo, Putri Candrawathi diduga sebagai motif pembunuhan Brigadir Yosua sempat muncul di awal kasus.

Namun laporan pelecehan Putri itu dihentikan oleh kepolisian atau SP3 karena tidak memiliki peristiwa pidana.

Isu kekerasan seksual kembali mencuat menyusul kesimpulan dan rekomendasi yang disampaikan oleh Lembaga Negara yang terlibat dalam pemeriksaan kasus pembunuhan Brigadir J.

BERITA TERKAIT :
Kekasih Tamara Tyasmara Ditangkap, Jadi Tersangka Kasus Kematian Dante
Ida Mahmudah Pimpin Sambo DKI, Mampu Dongkrak Prestasi Atlet Menuju PON Sumut-Aceh

Di satu sisi, Lembaga Negara tersebut menyatakan dalam temuannya, bahwa terdapat langkah-langkah sistematis untuk menghalang-halangi proses hukum atau obstruction of justice.

Tapi di sisi lain, Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual (JPHPKKS) menangkap kejanggalan Putri tetap diperiksa dan tidak mencurigai perubahan TKP dari semula di Jakarta ke Magelang. Termasuk, mengubah laporan pelecehan seksual menjadi kekerasan seksual.  

"Sebagai jaringan yang concern dengan isu kekerasan seksual, kami ingin menyampaikan bahwa benar adanya ketimpangan gender di masyarakat membuat perempuan dipandang lebih rentan ketimbang laki-laki sebagai korban kekerasan seksual," ujar Ratna Batara Munti dari JPHPKKS, dalam siaran persnya, dikutip hari ini.

"Sehingga tidak melihat latar belakang dan status sosial perempuan, perempuan bisa menjadi korban," lanjutnya.

Namun, lanjut Ratna, anggapan bahwa semua perempuan lemah dan tidak berdaya juga keliru. Perempuan memiliki agensi pada dirinya, dan mengabaikan hal ini justru membuat kita menjadi bias.  
 
"Dalam kasus PC kita perlu hati-hati, profil PC berbeda dengan umumnya korban kekerasan seksual yang diketahui atau didampingi lembaga layanan selama ini," ungkap Ratna.

Ada peristiwa besar terkait pembunuhan berencana dan temuan obstruction of justice di mana Putri yang mengaku sebagai korban merupakan tersangka pembunuhan bahkan terlibat dalam upaya perintangan proses hukum.

Laporan Putri sebelumnya terkait pelecehan seksual di TKP Jakarta berakhir dihentikan, dan dianggap sebagai upaya menghalangi penyidikan.

Dengan preseden sebelumnya, jaringan menilai tidak menutup kemungkinan pengakuan Putri terakhir sebagai korban perkosaan di TKP Magelang, menjadi obstruction of justice jilid kedua.

"Setelah yang pertama gagal, untuk menutup-nutupi motif sebenarnya dibalik terbunuhnya Brigadir J," jelas Ratna.

Lebih lanjut Ratna menekankan, analisis relasi kuasa antara pelaku kekerasan dengan perempuan korban yang biasanya digunakan dalam kasus perkosaan atau kekerasan seksual lainnya, tidak serta merta dapat diterapkan begitu saja dalam kasus Putri.

"Faktor relasi mana yang lebih dominan dalam hubungan PC dengan Brigadir J terutama terkait status sosial, struktur dan kultur kepolisian, semua faktor-faktor ini perlu dipertimbangkan," tegasnya.

Kasus pembunuhan Brigadir J ini justru dinilai jaringan membuka tabir permasalahan serius di tubuh Polri. Terutama terkait penanganan kasus kekerasan seksual yang masih diskriminatif selama ini.

Jaringan mencatat, dalam kasus Putri sebagai tersangka pembunuhan berencana dengan ancaman hukuman yang serius dan terlibat obstruction of justrice, penyidik tidak melakukan penahanan terhadap istri Sambo itu karena alasan memiliki bayi.

Tak hanya itu, sebelumnya laporan Putri terkait pelecehan seksual di Polres Jakarta Selatan secara cepat naik ke tahap penyidikan.

"Respon penyidik memperlihatkan sikap yang membedakan atau tepatnya memberikan perlakuan istimewa (privilis) terhadap PC dibanding banyak perempuan lainnya baik sebagai tersangka maupun sebagai korban kekerasan seksual," ujar Ratna.

Padahal, menurut jaringan, banyak laporan korban kasus kekerasan seksual sulit diproses dan membutuhkan usaha keras untuk bisa naik ke tahap sidik. Bahkan menghabiskan waktu yang lama, namun tidak berhasil. Begitupun bagi perempuan tersangka atau terpidana, penahanan tetap dilakukan meskipun memiliki anak bayi bahkan yang masih menyusui.

Berdasarkan catatan tersebut di atas, JPHPKKS meminta agar Polri segera melakukan pembenahan di internalnya.

"Hentikan praktek diskriminasi terhadap korban kekerasan seksual selama ini, termasuk diskriminasi dalam pelayanan dan penegakan hukum berdasarkan status sosial," pinta jaringan itu.

Dalam rekomendasi kedua, mereka meminta kepolisian untuk membuka secara terang benderang kebenaran di balik kematian Brigadir J. Kepolisian dituntut bekerja secara profesional dan akuntabel.

Khususnya, bagi lembaga negara yang melakukan pemantauan kasus kematian Brigadir J, jaringan itu meminta agar menjalankan sesuai tugas dan fungsi yang diemban dengan secara jernih mempertimbangkan seluruh fakta-fakta.

"Dalam penerapan analisis relasi kuasa pada laporan dugaan kekerasan seksual, perlu mempertimbangkan faktor relasi mana yang lebih dominan dalam hubungan PC dengan Brigadir J terkait dengan status sosial, struktur dan kultur kepolisian, semua faktor-faktor ini perlu dipertimbangkan," tulis rekomendasi mereka berikutnya.

Kepolisian juga perlu menghadirkan ahli-ahli secara independen, untuk mencegah upaya perintangan proses hukum (obstruction of justice), agar preseden sebelumnya tidak berulang.

Terakhir, jaringan itu mendorong adanya kebijakan afirmasi bagi perempuan yang berhadapan dengan hukum (PBH) dengan situasi khusus.  "Misalnya tahanan perempuan yang punya balita apalagi menyusui, perlu mempertimbangkan peran reproduksi mereka," demikian JPHPKKS.