RN - Sebagai negara yang didominasi oleh umat Islam, Indonesia ternyata menjadi begitu unik dan menarik karena mampu hidup di tengah keragaman suku, ras, adat dan budaya. Berakulturasi serta meresap dalam pergaulan sosial sebagian besar masyarakat Indonesia, baik berbentuk norma sosial maupun tradisi.
Citra Islam Indonesia juga lebih diterima khalayak global ketimbang Islam Arab yang cenderung keras dan penuh dengan konflik.
Hal ini yang menjadi atensi Tim Satgas Digital Masjid Agung Sunda Kelapa dan Universitas Islam Internasional Indonesia dalam melakukan agenda kolaborasi sharing session Muslimverse: Konektivitas Pemuda terhadap Wacana Islam Global selama da hari yakni Jumat (23/9/2022) - Sabtu (24/9/2022) di Masjid Agung Sunda Kelapa (MASK), Menteng, Jakarta Pusat.
BERITA TERKAIT :Prabowo Lebih Jago Dari Jokowi, Sekali Gebrak Bawa Rp156,5 Triliun Dari China
Gibran Curhat, Dari Makan Bergizi Gratis Hingga Ekonomi 8 Persen
Sebanyak 50 peserta yang hadir telah melalui proses kurasi dan seleksi yang ketat dan berkesempatan berbincang dan berdiskusi langsung dengan para tokoh-tokoh penting Islam di Indonesia hingga para intelektual dari UIII.
Beragam topik pun dibahas termasuk bagaimana penetrasi teknologi digital dalam kehidupan sehari-hari mendorong terciptanya demokratisasi informasi. Konsekuensi tersebut juga turut mempengaruhi kehidupan beragama di Indonesia. Terutama generasi muda yang berhabitat di antara alam nyata dan maya. Sebagai bagian dari generasi muda dan lahir sebagai pemuda masjid, Arief Rosyid Hasan menekankan betapa pentingnya generasi muda Islam Indonesia mampu menghadapi tantangan zaman dengan mengakar pada nilai-nilai Islam serta berpegang teguh pada identitas keindonesiaan.
“Jujur kita sangat tertinggal di bidang pengetahuan, terutama seperti cendekiawan muslim bisa dilihat dari para peraih Nobel kita hanya sekian persen saja. Apalagi di Indonesia, kita tahu bahwa secara demografi penduduk umat muslimnya begitu banyak tapi mengapa kita bisa kurang mendominasi ruang-ruang keilmuan dan terutama perekonomian bangsa?” ujar Arief mengawali bincang diskusinya.
Menurut pria yang juga menjabat sebagai Komisaris Independen Bank Syariah Indonesia ini, dengan melihat situasi dan isu-isu terkini yang terjadi di Indonesia, moderasi beragama menjadi elemen penting dari banyak perspektif, termasuk perspektif ekonomi bangsa.
“Bagaimana umat muslim yang mayoritas ini harusnya bisa menemukan titik keseimbangan dalam ekonomi nasional sesuai dengan konsep moderasi beragama. Di mana salah satu pilar dan esensi dari moderasi beragama ini adalah terkait kebangkitan ekonomi nasional khususnya ekonomi umat,” jelasnya.
Arief menambahkan bahwa angka-angka yang masif dan potensi umat muslim yang besar di Indonesia harus dimanfaatkan sebagai implementasi agenda-agenda kebijakan pemerintah. Ia pun juga mengingatkan ada tiga kata kunci utama dalam perkembangan ekonomi bangsa, yakni sejarah pemuda, sejarah Islam dan sejarah ekonomi.
“Kalau kita tahu saat ini banyak sekali gerakan-gerakan dan inisiatif yang lahir dari masjid dan pemuda Islam. Kita lihat bahwa demografi masyarakat Indonesia di tahun 2050 bisa mencapai 30 persen. Dan ini potensi besar untuk dimanfaatkan dalam menciptakan kebangkitan ekonomi umat termasuk ekonomi syariah di Indonesia. Jadi jangan sampai ada anggapan bahwa misalnya bekerja di masjid itu sebagai tempat menghabiskan masa pensiun, tapi masjid sebagai tempat untuk membangun anak muda di masa mendatang,” beber Arief.
Tak hanya Arief, beberapa pemateri lainnya termasuk Sekretaris Fakultas Agama Islam UIII, Yanwar Pribadi juga mengungkapkan bahwa Islam di Indonesia itu unik dan menarik.
“Kenapa Islam di Indonesia itu unik? Apakah memang benar unik? Justru saya bertanya-tanya apakah benar Islam itu unik. Karena ini bukan kuliah dan monolog, jadi kita berdiskusi saja. Apakah benar Islam itu unik?" ujarnya.
Selain Yanwar, hadir juga beberapa pemateri dari UIII seperti Prof. Noorhaidi Hasan, Farid F. Saenong, Muhammad Ilyas Marwal, Syamsul Rijal, Haula Noor, Bhirawa Anoraga, Habib Ja’far Al-Hadar.
Kemudian dari kalangan cendekiawan muslim yaitu Isna Rahmah Solihatin (bincangmuslimah.com), serta Muhim Nailul Ulya (pengajar Sekolah Tinggi Agama Islam Khozinatul Ulum, Blora). Materi-materi yang diangkat dalam Muslimverse 2022 ini cukup beragam seperti bahaya radikalisme, strategi dakwah di era digital, Islam Wasatiyya, hingga toleransi yang menjadi bekal diri di era saat ini.
Menariknya, peserta yang terpilih mengikuti agenda Muslimverse 2022 ini justru muncul dari luar Jakarta Raya seperti Banten, Tangerang, Cirebon bahkan hingga Sulawesi Barat. Para peserta ini merupakan kalangan mahasiswa yang berasal dari berbagai disiplin ilmu atau jurusan serta dari berbagai universitas, komunitas hingga remaja masjid.
“Ini menjadi kesempatan yang bagus buat saya maupun peserta lainnya untuk mendapatkan banyak perspektif mengenai moderasi beragama, toleransi, Islam Wasatiyya dan implementeasi-implementasi yang bisa saya kembangkan atau aplikasikan kepada masyarakat luas setelah selesai mendapat pembekalan di Muslimverse 2022,” pungkas Tubagus, salah satu peserta Muslimverse 2022.