Kamis,  28 March 2024

Pak Presiden, Sulitnya Masyarakat Akses Desk Satgas Anti Mafia Tanah

Tori
Pak Presiden, Sulitnya Masyarakat Akses Desk Satgas Anti Mafia Tanah
Ketua DPD RI La Nyalla M Mattalitti dalam Seminar Nasional HUT ke-35 IPPAT Pengurus Wilayah Jawa Timur di Surabaya, Rabu (28/9/2022). /dok pribadi

RN - Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti kembali menyinggung soal mafia tanah dan reforma agraria.

La Nyalla mengingatkan amanat Presiden Jokowi yang disampaikan pada tahun 2017 lalu tentang mafia tanah yang harus diberantas hingga ke akarnya. Saat itu, Jokowi dengan tegas meminta agar mafia tanah digebuk saja tanpa pandang bulu. Laa Nyalla juga mengingatkan tentang konflik agraria dan tata ruang, terutama terkait dengan lahan-lahan perkebunan dan kehutanan.

Hal ini berkaitan dengan pola perambahan lahan tanpa izin dan praktik penyimpangan perluasan lahan di lapangan.

BERITA TERKAIT :
AHY Ungkap Mafia Tanah Banyuwangi 17 Miliar, Di Jakarta Kapan Digarap? 
Genderang Perang Mafia Tanah Ditabuh Dari Rumah Dinas Wapres

"Petani dan penanam kebun skala kecil adalah mereka yang kerapkali menjadi korban. Data tentang persoalan ini juga bisa kita akses di beberapa lembaga pemerhati persoalan agraria, terutama Konsorsium Pembaruan Agraria atau KPA," ujar senator asal Jawa Timur itu dalam pidato kuncinya saat Seminar Nasional HUT ke-35 Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) Pengurus Wilayah Jawa Timur di Dyandra Convention Center Surabaya, Rabu (28/9/2022).

Menurutnya, mafia selalu identik dengan kelompok yang melakukan kejahatan secara terencana, rapi dan sistematis. Artinya, para mafia tidak bekerja sendiri. "Jadi kalau ada yang berhasil diungkap dan ditangkap oleh aparat penegak hukum, pasti rangkaiannya panjang. Ada big bos, ada pejabat, ada penghubung dan ada operator lapangan," papar La Nyalla.

Para mafia menjalankan operasi kejahatan pertanahan yang melibatkan sekelompok orang yang saling bekerjasama untuk memiliki atau menguasai tanah milik orang lain secara tidak sah. Mereka terbiasa menggunakan cara-cara yang melanggar hukum, namun tersusun rapi, terencana dan sistematis. Menurut La Nyalla, inilah tantangan bagi aparatur penegak hukum, khususnya Satgas Anti Mafia Tanah yang ada di Kementerian ATR/BPN, termasuk kejaksaan dan kepolisian.

"Di sini jugalah peranan para Pejabat Pembuat Akta Tanah dituntut untuk aktif terlibat memberantas mafia tanah," tegas La Nyalla.

Menurut LaNyalla, PPAT harus bekerja ekstra keras melakukan mekanisme double check terhadap informasi dan pernyataan yang didapatkan. Mengapa hal ini penting, sebab La Nyalla menilai akan menjadi masalah tersendiri jika data dan keterangan yang diberikan kepada PPAT ternyata palsu atau tidak benar.

La Nyalla juga meminta kepada Kementerian ATR/BPN untuk memberi ruang check and re-check yang mudah untuk diakses oleh para PPAT dalam melakukan validasi dan verifikasi. Ia juga meminta agar Satgas Anti Mafia Tanah juga harus dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat luas di semua lembaga, sesuai amanat presiden.

"Saya terus terang saja, tidak sedikit masyarakat yang mengadukan persoalan penyerobotan lahan dan persoalan agraria ini ke kantor saya di DPD RI. Artinya, masih ada kesulitan bagi masyarakat luas, untuk mengakses meja atau desk Satgas Anti Mafia Tanah yang dibentuk kementerian dan aparat penegak hukum," tutur La Nyalla.

Persoalan berikut yang dipaparkan La Nyalla adalah soal reforma agraria, terutama dalam menangani persoalan tata ruang dan agraria terkait lahan perkebunan, kehutanan dan pertambangan. Menurut La Nyalla, hakikat utama dari reforma agraria adalah usaha sistematis yang dilakukan negara untuk menata ulang kepemilikan lahan dan tanah agar tidak terjadi ketimpangan di suatu negara.

“Terutama dengan menitikberatkan kepada re-distribusi lahan kepada petani kecil, masyarakat adat, dan masyarakat yang tidak memiliki tanah atau landless," tutur La Nyalla.

Hingga sekarang, persoalan ini masih menjadi bagian karut marut persoalan agraria di Indonesia, selain persoalan mafia tanah sebagaimana disebutkan di atas. Sampai hari ini pula, La Nyalla menyebut pemerintah dan perusahaan perkebunan masih belum mengubah tata cara berbisnis di sektor perkebunan. "Sehingga tidak heran bila wajah pembangunan di sektor perkebunan masih sarat dengan konflik agraria, penyingkiran hak masyarakat, pelanggaran HAM, hingga pemiskinan masyarakat setempat secara sistematis akibat sistem kemitraan inti-plasma yang tidak berkeadilan, bahkan malah menghisap keringat petani kecil," tegas La Nyalla.

Orientasi pembangunan ekonomi di sektor perkebunan pun tidak berubah, tetap berorientasi kepada kepentingan dan keuntungan pengusaha dan badan usaha besar. "Orientasi ekonomi politik semacam ini seolah negara kita belum beranjak dari sistem perkebunan di masa penjajahan dan Orde Baru," kritiknya.

Pemerintah masih memberikan HGU (Hak Guna Usaha) berpuluh-tahun lamanya. Dengan begitu, hanya pengusaha dan perusahaan besar yang mendapatkan hak tersebut. Proses pemberian HGU yang dilakukan pemodal dan birokrat dilakukan secara tertutup, sehingga menyuburkan mata rantai praktik penyuapan. "Ini sudah menjadi masalah yang akut dan bersifat struktural," tegas La Nyalla.

Di sisi lain, proses pemberian HGU tersebut juga bermakna sebagai pengambilalihan tanah masyarakat. Presiden Jokowi memang telah melakukan penertiban atas tanah-tanah terlantar, sebagai jawaban atas kritik masyarakat. "Tetapi lahan
yang ditertibkan tersebut ternyata juga ditawarkan kepada kelompok-kelompok pemodal yang mampu mengelola dengan syarat feasibility studi yang memenuhi syarat, sama sekali bukan untuk redistribusi lahan kepada masyarakat dan petani kecil yang tidak memiliki lahan," jabar La Nyalla.

Hal itu terekam jelas dalam pernyataan Presiden dalam Kongres Ekonomi Umat ke-2 Majelis Ulama Indonesia. Presiden menawarkan lahan-lahan tersebut kepada lembaga atau badan bisnis ormas yang mampu mengelola dengan pendekatan feasibility bisnis.

Di sinilah yang menurut La Nyalla menjadi letak persoalan krusialnya, karena yang akan mendapatkan tanah-tanah hasil penertiban tanah terlantar tersebut lagi-lagi kelompok yang mempunyai akses permodalan, menguasai teknologi, dan pasar. "Artinya, kelompok elit bisnis, badan-badan usaha besar, dan elit politik yang kembali yang akan memonopoli tanah," jelas La Nyalla.

Padahal, seharusnya prioritas paling utama peruntukkan dari hasil penertiban tanah terlantar dan HGU-HGU bermasalah, seharusnya ditujukan untuk agenda penyelesaian konflik agraria dan re-distribusi tanah terlantar bagi kepentingan rakyat kecil, buruh tani, masyarakat tak bertanah dan yang tergusur, serta hak-hak masyarakat adat.