RN - Gelombang PHK di sejumlah industri manufaktur, terutama tekstil, harus disikapi dengan sangat cermat oleh pemerintah.
Apalagi ledakan bonus demografi, berupa meningkatnya jumlah penduduk usia produktif sudah di depan mata.
Demikian ditegaskan Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti dalam keterangannya, dikutip hari ini.
BERITA TERKAIT :UMP Naik 6,5 Persen, Kadin Kasih Garansi Gak Ada PHK
Jakarta Masih Ibu Kota, IKN Masih Berantakan?
Menurut La Nyalla, sudah seharusnya pemerintah menentukan skala prioritas. Jangan mengejar yang ingin, tetapi lakukan yang dibutuhkan.
“Kalau keinginan pasti banyak. Termasuk mempercepat IKN, itu kan keinginan. Tetapi persoalan ketersediaan lapangan kerja usia produktif di semua wilayah ini harus jadi skala prioritas, di tengah badai PHK di mana-mana,” tukasnya.
La Nyalla mengingatkan bonus demografi sebesar 114 juta jiwa usia produktif harus dikelola. Termasuk kualitas SDM-nya dengan memastikan mereka dapat mengakses pendidikan yang berkualitas.
“Setelah itu salurannya ke mana, itu juga harus dipikirkan,” imbuhnya.
Senator asal Jawa Timur itu mengatakan, angka yang sangat besar ini merupakan anugerah dan kekuatan bangsa Indonesia untuk membangun bangsa dan negara. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, jumlah ini akan menjadi ancaman dan akan memberi dampak pada kompleksitas masalah sosial.
"Pekerjaan rumah yang harus diselesaikan adalah kualitas SDM, sehingga angkatan kerja mampu menangkap peluang, menempatkan diri dan juga mampu menjadi SDM yang terampil pada bidang-bidang yang sedang potensial berkembang," tutur LaNyalla.
Ketua Dewan Penasehat Kadin Jawa Timur itu menegaskan, jika tidak ada perimbangan dengan lapangan kerja yang cukup, maka sama dengan menggali kuburan sendiri. “Karena pasti akan timbul persoalan yang lebih besar di kemudian hari," pungkas LaNyalla.
Sebagaimana diketahui, pemerintah menempatkan pembangunan Sumber Daya Manusia dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebagai modal utama pembangunan nasional untuk menuju pembangunan yang inklusif dan merata di seluruh wilayah Indonesia.
Kebijakan tersebut diambil untuk memanfaatkan momentum bonus demografi yang saat ini terjadi di Indonesia yang memiliki 70 persen penduduk berusia produktif dengan jumlah angkatan kerja yang mencapai 144 juta orang.
Namun di tengah pencanangan program tersebut, resesi dan inflasi ekonomi memaksa tingginya angka pemutusan hubungan kerja di beberapa sektor.