RN - Sunan Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik adalah wali songo paling senior di antara sembilan wali yang dikenal publik hingga saat ini dari generasi ke-7.
Setelah ditelusuri ternyata Fahd El Fouz A Rafiq masih keturunan dari Sunan Maulana Malik Ibrahim.
BERITA TERKAIT :Curhatan Warga Penjaringan Soal Problematika Ijazah Tertahan Hingga Terancam Anak Tak Ikut Ujian
2.229 Kasus DBD Di Jaktim, Wali Kota M Anwar Diminta Fokus
Leluhur mantan Ketum PP AMPG ini yaitu Sunan Maulanan Malik Ibrahim (Sunan Gresik) adalah anak dari Syekh Jumadil Kubro yang lahir di Samarkand pada awal abad ke -14. Nama lain dari Sunan Gresik adalah Syekh Maghribi dan Makhdum Ibrahim al samarqandi orang jawa menyebutnya asmoro qondi.
Jadi, Maulana Malik Ibrahim sering disebut wali pertama yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa dan menikahi Putri Campha. Dari istrinya ini, Maulana Malik Ibrahim memiliki dua orang anak laki-laki, Sayyid Ali Murtado dan Sunan Ampel.
Sunan Gresik adalah ayah dari Sunan Ampel, sekaligus kakek dari Sunan Bonang dan muridnya yaitu Sunan Drajat.
Maulana Malik Ibrahim yang juga dikenal sebagai Kakek Bantal, karena setiap kali mengajari santrinya selalu meletakkan Alquran di atas bantal. Nasihat dan ajarannya berhasil membuat hati dan jiwa menjadi tenang, setenang saat tidur di atas bantal. Selain itu, ada pula yang meyakini bahwa Sunan Gresik dijuluki Kakek Bantal karena sosoknya begitu membaur dengan penduduk setempat, hingga boleh dikatakan membumi dengan lingkungan serta masyarakat. Dalam hal ini, bantal diartikan sama dengan bumi.
Fahd sedikit berbagi pengetahuannya tentang sembilan Wali Songo. Kala itu nama sembilan dewa penguasa arah mata angin di Jawa dapat dijumpai pada tertib kosmos yang tertera pada Candi Loro Jonggrang yang meliputi: Kuwera (Utara), Isyana (Timur Laut), Indra (Timur), Agni (Tenggara), Kama (Selatan), Surya (Barat Daya), Baruna (Barat), Bayu (Barat Laut), ditambah satu penjaga titik pusatnya yaitu Syiwa. Kosmologi yang dianut orang Jawa-Hindu pada saat itu dikenal dengan sebutan Nawa Dewata (sembilan dewa), ucapnya di Jakarta pada (22/12).
Bertolak dari Kosmologi Nama Dewata, dapat diasumsikan bahwa dakwah Islam dilakukan Wali Songo secara sistematis. Kiranya telah terjadi proses perubahan konsep Nawa Dewata menjadi konsep Wali Songo.
Konsep Kosmologi Nama Dewata alam semesta yang dikuasai dan diatur oleh anasir-anasir ilahi, yang disebut dewa-dewa panjara arah mata angin, diubah menjadi konsep Wali Songo. Di mana kedudukan dewa-dewa penjaga arah mata angin itu digantikan oleh manusia-manusia yang dicintai Tuhan, yaitu auliyah (bentuk jamak dari kata tunggal wali) yang berjumlah sembilah (songo).
Maka dari itu konsep Wali Songo dapat dikatakan sebagai suatu proses pengambilalihan konsep Nawa Dewata yang bersifat Hinduistik menjadi konsep sembilan wali yang bersifat sufistik Islam.
Berangkat dari penjelasan ini, maka dapat dipahami alasan mengapa corak Islam di Jawa, khususnya Jawa Tengah (baca: Islam kejawen) lebih mengedepankan aspek Jawanya ketimbang aspek Islamnya. Dan inilah pula sebabnya mengapa Islam dapat diterima dengan cepat oleh kebanyakan masyarakat Jawa yang pada saat itu beragama Hindu.
Dalam kitab Futuhat al Makkiyah karya Syaikh Akbar Muhyiddin Ibnu Araby, derajat kewalian secara umum dapat diraih dan dicapai hanya dengan sembilan tahap tingkat kewalian. 1. Walin Aqthab (Wali Qutub) yaitu pemimpin dan penguasa para wali di Seluruh Alam Semesta. 2, 2) Wali Aimmah, yaitu pembantu Wali Quthub dan menggantikan kedudukan Wali Aqthab jika telah wafat; 3) Wali Autad, yaitu wali penjaga empat penjuru arah mata angin (utara-selatan-barat-timur); 4) Wali Abdal, yaitu wali penjaga tujuh musim; 5) Wali Nuqaba, yaitu wali penjaga hukum syariat; 6) Wali Nujaba, yaitu wali yang setiap masa berjumlah delapan orang; 7) Wali Hawariyyun, yaitu wali pembela kebenaran agama; 8) Wali Rajabiyyun, yaitu wali yang karomahnya muncul setiap bulan Rajab; dan 9) Wali Khatam, yaitu wali yang menguasai dan mengurus wilayah kekuasaan wilayah Islam.
Jadi kemunculan Wali Songo yang merupakan representasi konsep Nawa Dewata yang abstrak dan tidak kasat mata menjadi wujud konkret yang kasat mata. Manusia-manusia keramat yang memiliki kemampuan adikodrati merupakan kunci utama mudahnya Islam diterima oleh penduduk setempat. Selaras dengan pepatah Sunda 'halodo sataun lantis ku hujan sapoe' (Serukanlah pesan pesan kebaikan dengan himah dan pelajaran yang baik).
Makanya hingga detik ini Fahd El Fouz tidak berani untuk menyebutkan (mendeklarasikan) dirinya sebagai keturunan Wali Songo sekaligus dzuriahnya Nabi SAW. Hal ini disebabkan rasa hormat dan takdzimnya terhadap kebesaran para Wali Songo dan Nabi SAW.
"Jika kita ingin melihat hasil kaya para Wali Songo, maka lihatlah tulisan-tulisan semisal Babad, Hikayat, Serat, Wawacan, Syair-Syair, Suluk, Pupuh dan sejenisnya yang terdapat di Keraton-Keraton yang ada di Indonesia," tutur Fahd yang dikenal sebagai pengusaha.
Peradaban manusia dan Islam sesungguhnya sangat bisa berjalan berdampingan, selama kecerdasan seorang penyampainya mampu menyeimbangkan tanpa harus dibenturkan.
Inilah sebenarnya yang diajarkan oleh Allah dan rasul-Nya menjadikan Islam sebagai rahmatan lil alamain.
"Wali Songo berdakwah dengan cara cara yang kreatif, inovatif dan responsif terhadap permasalahan yang ada di tengah masyarakat. Dalam mengajak kebaikan, bersikaplah keras pada diri sendiri dan lemah lembutlah kepada orang lain dan jangan sebaliknya.
Itulah esensi yang perlu ditiru dan terus dikembangkan untuk kemaslahatan bersama," tuturnya.